‘Ani al-Dunya, Ila al-Dumya: Perjalanan Manusia menuju Lubang Kuburnya Sendiri

Oleh;

Ahmad Faidy

Nelayan di Samudera-Nya

Kini, kita telah memasuki era milenial; dimana dalam satu waktu manusia bisa hidup di dua alam sekaligus, yakni dunya (dunia nyata) dan dumya (dunia maya). Dunya dan dumya adalah dua alam yang sama sekali berbeda satu sama lain. Jika dunya memiliki batas-batas sosial, spasial, dan temporal yang tegas, justru sebaliknya dumya adalah alam imitasi yang justru mampu meretas batas-batas itu. Anehnya, manusia yang katanya terbatas dalam ruang dan waktu,kini hidup bebas dan cenderung liar dalam dunia maya yang seakan tak terbatas itu.

Migrasi keilmuan yang begitu cepat, yang termanifestasi dalam kecanggihan teknologi informasi masa kini, harus diakui sebagai prestasi luar biasa yang telah mampu mendorong manusia melampaui mitos-mitos masa lalunya. Pada zaman bahula, komunikasi jarak jauh adalah mitos, orang bisa hadir secara visual di beberapa tempat berbeda dalam satu waktu adalah mitos, migrasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lainnya secepat kilat adalah mitos. Sekarang, hanya dengan smart phone, generasi milenial mampu menembus tembok-tembok mitos yang dibangun para leluhurnya.

Sungguh, kecerdikan akal manusia telah mampu mengantarkan generasi milenial menjadi makhluk yang paling lentur dan paling liar sekaligus. Dikatakan Lentur, karena manusia milenial telah mampu menembus batas-batas ruang dan waktu. Mungkin, kondisi ini dapat kita sebut sebagai bentuk transformasi dari ilmu halimun[1] di era milenial. Dikatakan  liar, karena manusia mampu meretas batas-batas nilai dan norma yang dianggap telah mengekangnya dalam dunia nyata. Di dunia maya, mereka bebas menciptakan makhluk-makhluk abstrak (baca: akun-akun palsu) yang bisa berceloteh tentang apa saja, memaki-maki siapa saja, bebas memilih jenis kelamin, dan bebas memilih status sosial dan agamanya sendiri. Duh, mungkinkah mereka telah menganggap dirinya sebagai Tuhan?

Proses migrasi manusia—dari makhluk biologis menjadi makhluk virtual—yang  begitu cepat dan kilat, telah mengakibatkan pergantian eksistensi manusia yang begitu cepat pula. Bahkan, dari saking lentur dan liarnya, makhluk-makhluk virtual ini bisa berganti-ganti jenis kelamin kapanpun mereka mahu. Sehingga, tidak ada lagi batas-batas bilogis, geografis, budaya, ras, dan bahkan agama. Segala bentuk dan warna menjadi larut dalam gelap kehampaan. Meminjam bahasanya Hikmat Budiman, mungkin inilah yang disebut sebagai lubang hitam (black hole) kebudayaan. Manusia pintar yang sombong, telah berhasil menggali lubang kuburnya sendiri.



[1]Menurut KBBI, kata halimun berarti tidak kelihatan, orang — , orang halus (siluman, orang bunian); doa — , ilmu halimunan; ilmu — , mantra atau ilmu yang dapat menjadikan badan tidak kelihatan.

TRADISI MERU(A)WAT STRES*

Belakangan ini, bisa dikatakan bahwa bangsa kita sedang dilanda “stres” massal. Indikator utama yang dapat kita temui di lapangan adalah merebaknya penyakit “demam wisata.” Masyarakat kita dewasa ini cukup gandrung mengunjungi tempat-tempat wisata tertentu dengan alasan “refreshing” atau membuang segala penat di pikiran. Bahkan, secara tidak sadar, kata-kata “refreshing” seakan-akan telah menjadi “apliklasi default” (baca: karakter bawaan) dari manusia-manusia milenial.

Implikasinya, orang-orang yang tidak kenal tempat-tempat wisata dianggap kolot dan tidak ketinggalan. Tentu, wacana ini didukung dan semakin dipopulerkan oleh kaum kapitalis. Ekploitasi rasa “stres” menjadi trend baru dalam perkembangan dunia bisnis kekinian. Pasar, warung makan,  dengan konsep tradisional—tanpa menyuguhkan keindahan view dan sarana wisata lainnya—cenderung ditinggalkan oleh para konsumen milenialnya. Artinya, trend baru dalam dunia bisnis kekinian adalah penggabungan konsep sekaligus; yakni “kebutuhan” dan “kepuasan” konsumen. Terbukti, konsep semacam itulah yang belakangan begitu digandrungi oleh konsumen. 

Terlepas dari hal itu, kondisi inilah yang menjadi awal mula munculnya tradisi baru di kalangan manusia milenial; yakni tradisi “mera(u)wat stres.” Mengapa bisa dibilang sebagai “tradisi”? Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata tradisi berarti adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; atau juga berarti penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (Lihat KBBI). Dengan demikian, maka tidak salah bila penulis menganggap bahwa pembiasaan berwisata—yang secara tidak langsung telah membiasakan stres—merupakan tradisi baru manusia milenial dalam merawat stres. Bahkan tidak jarang di antara kita yang telah menyusun agenda wisata jauh-jauh hari sebelumnya. Tentu, hal itu bisa dianggap sebagai upaya tidak langsung dalam mentradisikan stres secara masif dan terjadwal.

Dalam konteks inilah maka dapat dikatakan bahwa upaya kita untuk mencegah atau menghilangkan stres melalui media wisata cenderung kontradiktif. Wisata tidaklah menjadi alternatif justru menjadi media baru dalam “menumbuh-kembangkan” potensi stres itu sendiri. Jika kita selama ini berpikir bahwa “wisata” adalah pencegah stres, maka kita harus reinstal cara berpikir kita. Memang betul bahwa “wisata” merupakan salah satu media refreshing yang dapat mengurangi stres. Tapi kita harus ingat bahwa wisata yang terjadwal (baca: ditradisikan) justru secara tidak langsung kita juga telah mentradisikan stres itu sendiri. Artinya, minumlah obat wisata itu secara proporsional dan jangan berlebih-lebihan. Sebab, sesuatu yang berlebih-lebihan itu pastilah memabukkan (baca: bikin kita tidak waras).

Stres itu sebenarnya merupakan gejala psikologis seseorang yang cukup normal. Gejala stres pasti pernah dan akan dirasakan oleh setiap orang yang normal. Potensi stres (baca: rasa tidak nyaman) ini dititipkan oleh Allah kepada manusia agar manusia itu terus dapat tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, akal, dan psikologis. Tetapi, jika potensi stres tidak dikelola dengan baik maka ia akan menjadi penyakit yang cukup mematikan.

Rasa stres itu muncul akibat ketidakpuasan atau ketidakmampuan akal (bukan bathin loh ya) dalam menampung realitas yang dihadapi. Pendeknya, stres itu merupakan “kesumpekan” akal menghadapi ralitas kehidupan yang jelimet dan rumit. Dalam bahasa lain, akal itu sangatlah terbatas. Karena itulah mengapa Islam selalu menganjurkan umatnya untuk senantiasa berpegang teguh pada keimanan. Sebab, keimanan adalah benteng utama sekaligus pertama dari setiap kesumpekan akal manusia yang sangat bendawi. Segala sesuatu yang tidak mampu ditampung akal, maka sudah semestinya kita menggunakan kembali “kacamata” ruhani atau keimanan. Ketika akal kita sudah tidak mampu menemukan jawaban dibalik realitas kehidupan yang sangat misterius, maka pada saat itulah kita harus kembali pada ruang “ruhani”; tempat bersemayamnya keimanan.

Lalu dimanakah kaiatannya keimanan sebagai benteng stres? Salah satu buah keimanan dalam diri seseorang dapat kita telusuri melalui kadar optimisme atau husnudzan yang mereka miliki. Jika kita termasuk orang-orang yang cenderung optimis, lebih banyak bersyukur ketimbang mengeluh, lebih banyak memuji ketimbang mencela, lebih banyak memberi ketimbang meminta, wa akhawatuha, maka insyallah kita termasuk orang-orang yang beriman. Jika pola pikir dan pola sikap kita sudah demikian, maka insyaallah kita akan terhindar dari “penyakit stres” itu tadi. 

Dalam kondisi keimanan yang semacam ini, kita tidak akan lagi butuh “wisata” untuk mencegah stres. Setiap segala sesuatu” yang kita hadapi justru dapat dijadikan sebagai“media” pencegah stres. Menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi sudah sangat cukup untuk “mengepulkan” dan membubungkan “rasa syukur” kita. Menemui teman dan tetangga yang sinis juga kita anggap sebagai “pemanis” kehidupan. Atasan yang otoriter kita anggap sebagai “ujian” ketangguhan. Bahkan, dalam kondisi semacam ini, insyaallah kita pun bisa memintal “derita” menjadi “anugerah,” tangis menjadi senyum, dan dari innalillah menjadi alhamdulillah.

Wallahu a’lam bi ash-shawab!

Ahmad Faidi, Nelayan Di Samudera-Nya.

Proceedings Millati Tahun 2018 : Identitas dan Globalisasi

Identitas kebangsaan, baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, bahkan agama, memang selalu menarik untuk dijadikan sebagai topik kajian dewasa ini. Pasalnya, identitas “Keindonesiaan” sering kali menjadi poros kajian utama dalam berbagai simposium, seminar, dan diskusi-diskusi ilmiah di kalangan masyarakat akademik. Tentunya hal demikian tidak terlepas dari kebutuhan praksis masyarakat Indonesia yang membutuhkan konsep “Keindonesian” sebagai landasan filosofisideologis dalam bernegara, berbangsa, dan beragama. Lebih-lebih sebagai pandangan dan pedoman hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi gempuran globalisasi yang semakin mustahil untuk dihindari.

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan globalisasi sebagai gelombang besar yang tidak dapat dihindari. Pada satu sisi, globalisasi merupakan gelombang positif yang dapat mendorong masyarakat Indonesia untuk turut serta dan berperan aktif dalam membangun peradaban dunia. Tetapi pada sisi lain, globalisasi dengan berbagai perangkat-perangkatnya telah memaksa masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia pada umumnya, untuk melebur sekaligus melepas berbagai bentuk identitas kebangsaannya.

Dalam konteks inilah masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia pada umumnya, dapat dikatakan sedang mengalami kegamangan. Arus globalisasi seakan telah menyeret suatu bangsa pada gelombang peleburan identitas-identitas personal menjadi komunitas masyarkat global yang tidak lagi tersekat oleh identitas budaya, agama, dan lain sebagainya. Konsekwensi logis yang menimpa masyarakat-bangsa Indonesia akibat gelombang ini adalah semakin tergerusnya identitas Keindonesiaan itu sendiri.

Tentu, hal ini tidak diartikan sebagai akibat dari minimnya landasan filosofisideologis yang dapat dipedomani oleh masyarakat Indonesia. Tetapi, perkembangan globalisasi yang semakin tak terkendali telah melahirkan tantangan-tantangan baru. Oleh karena itu, landasan filosofis-ideologis bangsa indonesia yang telah ada sebelumnya, perlu ditafsir ulang sebagai upaya kontekstualisasi dan adaptasi dengan tantangan global dewasa ini. Dalam konteks inilah maka upaya rethingking, reaktualisasi dan revitalisasi identitas “Keindonesiaan” dapat menjadi alternatif dalam membentengi masyarakat Indonesia dari gempuran globalisasi. Dewasa ini, masyarakat Indonesia sedang membutuhkan sebuah landasan filosofis-ideologis yang dapat dipedomani agar tidak mudah tertipu oleh rayuan globalisasi yang cenderung meninabobokkan. Melalui upaya rethingking, reaktualiasi, dan revitalisasi itulah kita bisa menyelamatkan bangsa kita dari zaman “kemiskinan” identitas.

Oleh karena itu, melalui acara Seminar dan Call for Papers dengan tema “Identitas dan Globalisasi: Menakar Kesadaran Politik, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Muslim Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Jurnal Millati: Journal Of Islamic Studies Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga pada tanggal 28 April 2018, dapat menjadi ajang penggalian “konsep” identitas kebangsaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Melalui proceedings ini, dengan berbagai tema artikel yang terkandung di dalamnya, kami berharap dapat menjadi sumber inspirasi bagi dinamika proses rethingking, revitalisasi, dan reaktualisasi identitas Keindonesian itu sendiri.

Salatiga, 20 Mei 2018
Dewan Editor Journal Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities

DAFTAR ISI
Bahasa, Sastra, Sejarah, dan Kebudayaan Islam

1. Relevansi Budaya dan Dakwah dalam Perspektif Al-Qur`An: Mencapai Masyarakat Indonesia yang Madani Dzurrotul Arifah Dan Hamdi Putra Ahmad …………………………………………………………………3

2. Pengaruh Islam dan Kebudayaan Melayu terhadap Kesenian Madihin Masyarakat Banjar

Atqo Akmal ………………………………………………………………………………………………………………………19

3. Fungsi Performatif Upacara Buang Batu sebagai Ekspresi Transisi Siklus Kematian: Pembacaan Surat Al-Ikhlas 3.333 Kali di Desa Abason, Sulawesi Tengah

Puji Astuti, Subkhani Kusuma Dewi …………………………………………………………………………..33

4. Mengulas Kembali Gerakan Ratu Adil di Bali dan Papua

Panis Dhbi Salam ……………………………………………………………………………………………………………55

5. Hubungan Islam dan Budaya Arab pada Masa Nabi Muhammad dan Khulafa Al Rasyidin

Muhammad Yeni Rahman Wahid ………………………………………………………………………………..75

6. Urgensi Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Pendidikan Islam di Indonesia

Hendri Pitrio Putra ………………………………………………………………………………………………………..85

7. Islamisasi Bangsa Mongol: Studi Terhadap Kebijakan Politik-Keagamaan Ghazan Khan 1295-1304 M.

Ahmad Faidi …………………………………………………………………………………………………………………….93

8. Masjid Sebagai Pelestari dan Transformasi Kearifan Lokal, Seni, dan Ilmu Pengetahuan (Studi Kasus Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta)

Rusdiyanto …………………………………………………………………………………………………………………….101

9. Suara Kaum Feminis dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender: Tawaran Atas Metodologi Penafsiran dalam Memahami Teks Agama

Misbah Hudri ………………………………………………………………………………………………………………..111

10. Nilai, Peran, Serta Fungsi Shalat dan Masjid dalam Menyikapi Problematika Masyarakat Modern

Taufik Kurahman …………………………………………………………………………………………………………123

11. Rekonstruksi Pemahaman Tasawuf Tradisionalis di Era Modernitas: (Refleksi Terhadap Tokoh Sufi Neo-Modernisme (Gus Dur) dalam Wacana Terciptanya Umat Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin dan Berkemajuan)

Andy Rosyidin ………………………………………………………………………………………………………………141

12. MAPK (Madrasah Aliyah Program Keagamaan) Surakarta sebagai Miniatur Islam Nusantara dan Pelestari Tradisi Pesantren yang Berdaya Saing Global

Firdan Fadlan Sidik ……………………………………………………………………………………………………..157

13. Relasi Hegemoni Kekuasaan terhadap Pewujudan Kultural: Studi Atas Tradisi Hadis Larangan Berbohong di “Kantin Kejujuran”

Robbin Dayyan Yahuda dan M.radya Yudantiasa ………………………………………………….175

14. Sejarah Pendidikan Multikultural sebagai Identitas Nilai-Nilai Islam

Suharsono Dan Ulia Anisatur Rosidah ……………………………………………………………………195

15. The Influence of Social Media for The Development of Da’wah and Indonesian Community Behavior

Avin Wimar Budyastomo …………………………………………………………………………………………..203

16. Kontribusi Imam Sibawaih dalam Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu Bashrah

Andi Holilulloh …………………………………………………………………………………………………………..219

17. Prilaku Makan Masyarakat Muslim Jawa Awal Abad XX

Muhammad Misbahuddin ………………………………………………………………………………………….231

18. Islamic Country Polemics For Indonesia: Analysis of History of The Islamic Islam and Indonesia

Elok Ningtyas, Khoirul Hadi ………………………………………………………………………………………241

 

Ilmu al-Qur’an dan Hadis

1. Hadis-Hadis Mukhtalif tentang Pakaian dan Perhiasan

Muhammad Iqbal …………………………………………………………………………………………………………259

2. Hak Kebebasan Beragama dalam Hadis (Analisis Hadis Perang Ala Hermeneutika Double Movement)

Nurul Ihsannudin ………………………………………………………………………………………………………..269

3. Studi Living Qur’an: Internalisasi Penggunaan Surah Maryam dan Surah Yusuf sebagai Pendidikan Prenatal dalam Tradisi Masyarakat Muslim di Desa Kertosari, Banyuwangi

Nur Indah Fitri dan M. Khoirul Hadi Al-Asy Ari …………………………………………………..287

4. Memahami Hadis Tentang Khatam Al-Nabiyin (Studi Hadis d alam Lingkaran Ahmadiyah)

Moh Muhtador ……………………………………………………………………………………………………………..301

5. Moral Education dalam Kajian Al-Qur’an dan As-Sunnah (Studi Penafsiran Hamka terhadap Ayat-Ayat Moral Pendekatan Tematik Kontekstual)

Ahmad Mushawwir & Wiwin Fauziyah …………………………………………………………………..309

6. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Semboyan Masyarakat Madani (Analisis Q.s. 49:13 dan Q.s. 03:103 dengan Teori Aplikasi Gadamer)

Muhammad Misbahul Munir dan Muhammad Rafi ……………………………………………..329

7. Pendidikan Sosial Berbasis Tauhid dalam Perspektif Al-Qur’an

Muhammad Khoiruddin …………………………………………………………………………………………….347

8. Living Qur’an: Syariatisasi Pulau Santen Berdasarkan Surah An-Nisa’ [4] Ayat 29 dalam Pandangan Masyarakat Banyuwangi Perspektif Al-Qur’an

Putri Maydi Arofatun Anhar, Moh. Abd. Rauf, dan M. Khoirul Hadi Al-Asy Ari …359

9. Tafsir Ilmi: Studi Metode Penafsiran Berbasis Ilmu Pengetahuan pada Tafsir Kemenag

Putri Maydi Arofatun Anhar, Imron Sadewo dan M. Khoirul Hadi Al-Asy Ari …….375

10. Living Al- Qur’an: Penentuan Mahar Menggunakan Surah Ar-Rahman dalam Tinjauan Hukum Islam

Angga Tiara Wardaningtias ………………………………………………………………………………………387

11. Wacana Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hadis Menurut Husein

Muhammad Andi Rabiatun ………………………………………………………………………………………………………………397 12. Konsep Perlindungan Anak dalam al-Qur’an: Analisis Hermeneutik Asghar Ali Engineer

Alfi Qonita Badi’ati ………………………………………………………………………………………………………415

13. Menjaga Akhlak untuk Mencegah Bencana Alam (Tafsir Ekologi KisahKisah Kaum yang Dihancurkan Allah)

Ayusta Gilang Wanodya ……………………………………………………………………………………………..431

 

Ekonomi, Filsafat, dan Pemikiran Islam

1. Fenomena Kemiskinan dan Runtuhnya Kedaulatan Pangan: Kajian Kritis Program Desa Mandiri Pangan Desa Mangli Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang

Mutiullah ……………………………………………………………………………………………………………………….449

2. Ekowisata Religius: Analisis Kemandirian Ekonomi Daerah, dalam Sektor Pembangunan Ekowisata Berbasis Halal Tourism Di Pantai Pulau Santen Banyuwangi

Firdausia Hadi ………………………………………………………………………………………………………………437

3. Konsepsi Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa

Dheny Wiratmoko ……………………………………………………………………………………………………….489

4. Membangun Nalar Islam Komprehensif Berbasis pada Kepentingan Kemanusiaan

M. Chairul Huda ……………………………………………………………………………………………………………499

5. Metode Ijtihad Muhammadiyah dan NU dalam Menghadapi Ta’arudh AlAdillah

Nofialdi, Syukri Iska …………………………………………………………………………………………………….509

6. Pemikiran Ekonomi Islam tentang Perdagangan Bebas

Meirison …………………………………………………………………………………………………………………………527

 

7. Pluralisme dalam Perspektif Tokoh Lintas Agama

Sutrisna ………………………………………………………………………………………………………………………….543

 

Untuk Full PDF silahkan klik https://drive.google.com/file/d/1t4K8LX9orAjp9pGlrHnvZrS_lJ1_T1v5/view