ILMU RIJALUL HADIS (Oleh: M. Gufron)

  1. Pendahuluan

Sebagai sumber ajaran Islam ke dua, hadis berbeda dengan al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawatir. Sedang hadis periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi secara ahad.[1] Bahkan, kodifikasi hadis yang resmi pun baru dirintis masa khalifah Umar bin Abd al-Aziz (w. 110 H/720 M).[2] Oleh  karenanya penelitian terhadap orisinalitas hadis memang sangat diperlukan agar validitasnya sebagai hadis Nabi dapat dipertanggungjawabkan. Pentingnya problem orisinalitas hadis ini terjawab, telah memotivasi para ulama’ hadis melahirkan kajian Ilmu yang berkaitan dengan sanad, yaitu Ilmu Rijalil Hadis dan Ilmu Ilalil hadis.

Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para rijal hadis atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis memiliki dua cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadis dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi diterima tidaknya periwayatan mereka.

Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadis dalam mengkaji para perawi pada dasarnya memiliki dua scope bahasan, yang pertama biografi atau sejarah para perawi sebagai cakupan Ilmu Tarikh ar-Ruwah dan kedua, sebagai tahapan kelanjutan bahasan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi kualitas rawi.

Kemunculan kajian Rijal al-Hadis yang menjadikan manusia sebagai subyek-ahli hadis-sekaligus obyek-rawi hadis- sejalan kemunculan periwayatan hadis itu sendiri, yakni sejak masa Nabi. Hanya, sebagai bangunan Ilmu tersendiri, baru mewujudkan diri bersamaan dengan kemunculan ilmu-ilmu hadis yang lain yakni setelah upaya kodifikasi hadis mulai dirintis. Hal ini memiliki pengertian, bahwa semenjak masa Nabi sudah ada rintisan untuk memfilter berita dari sisi “siapa penyampai berita-nya”, sebagaimana dituntunkan sendiri oleh al-Qur’an Q.S al-Hujurat (49);6 yang bermuatan seruan untuk melakukan tabayyun atau konfirmasi dalam menerima informasi. Terlebih dalam dataran praktis, Nabi sendiri melakukan penilaian terhadap para sahabat, seperti Khalid saif min suyufillah, fulan bi’sa akhul asyirah, dsb.[3]

Mengkaji rijal hadis atau para perawi hadis berarti mengkaji semua orang yang menjadi rawi dalam periwayatan hadis sampai terkodifikasi kitab-kitab hadis. Ini memiliki pengertian ada ratusan ribu rawi yang harus dilibatkan, mengingat jimlah sahabat yang menjadi rawi saja jumlahnya belasan ribu orang belum termasuk tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya. Oleh karenanya, bukan merupakan pekerjaan yang mudah mengkaji para rijal al-hadis dari berbagai aspeknya. Terlebih lagi dengan mengingat keberadaan subyektivitas pengumpul data tidak bias dinafikan dalam ilmu yang termasuk human sciences ini.

Subyektifitas kritikus sangat  mempengaruhi out-put penilaian mereka terhadap seorang rawi. Oleh karenanya adalah wajar jika ada ulama’ hadis yang dikenal ketat atau tasyaddud, ada pula yang longgar atau tasahul dan ada pula yang moderat atau tawasut. Al-Nasa’I (w. 303 H/905 M) dan Ibn al-Madani (w. 234 H/849 M) dan Jalal al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), dikenal sebagai mutasahil dalam menilai rawi hadis yang siqah, sedang Ibn al-Jauzi mutasahil dalam menilai rawi hadis yang siqah, sedang Ib al-Jauzi mutasahil dalam menyatakan adanya jarh dalam rawi. Sedangkan al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M), dikenal dalam menilai periwayat hadis.

Adapun untuk mengkaji para rawi yamg terlibat dalam periwayatan hadis yang memiliki masa rentang yang panjang dengan kita, diperlukan kitab-kitab terkait yang telah dihasilkan para ulama’ sebelumnya. Diantara kitab Rijal Hadis yang sampai pada kita, ada kitab-kitab yang secara khusus hanya memuat rawi-rawi dalam kitab hadis tertentu, seperti Rijalu Shahih Muslim karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Asfahani (w. 428 H), al—Jam’u baina Rijal al-Shahihain buah tangan Ibn al-Qirani (w. 507 H), al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’ karya al-Tamimi (w. 416 H). Ada pula kitab-kitab yang khusus memuat rawi kutub al-sittah, seperti Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahzdib al-Tahzdib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, Khulasah Tazhib al-Kamal karya al-Khazraji. Ada pula kitab-kitab yang khusus memuat para rawi yang siqah seperti: Kitab al-Siqqat karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti, Kitab al-Siqqat karya al-Ijli. Diantara kitab-kitab yang secara spesifik memuat para perawi yang lemah atau masih diperselisihkan dan diperbincangkan kualitasnya seperti Kitab al-Du’afa karya al-Uqaili, al-Kamil fi Du’afa al-Rijal karya al-Jurjani dan Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal karya al-Zahabi.[4]

  1. Urgensi

Secara eksplisit, penelitian atau kritik hadis selalu diarahkan pada kritik sanad/kritik eksternal/naqd al-khariji dan kritik matan/kritik internal/naqd al-dakhili. Pada naqd al-khariji, kajian difokuskan pada kualitas para perawi dan metode periwayatan yang digunakan.[5] Apakah kredibilitas para perawi dalam hadis tersebut diakui dan apakah adat tahammul dan ada’nya menunjukkan bahwa itu otentik hadis Nabi.

Berangkat realitas focus kajian kritik sanad pada penelitian kualitas para rawi, maka keberadaan ilmu rijalil hadis tidak bias dipandang sebelah mata. Pertama, karena dengan ilmu ini terkuak data-data rijalil hadis yang terlibat dalam civitas periwayatan hadis dari masa ke masa semenjak zaman Rasulullah, baik dari segi biografi maupun dari segi kualitas rijalnya. Kedua, dengan ilmu ini diketahui pula sikap dan pandangan para ahli hadis yang menjadi kritikus (jarihun dan mu’addilun) terhadap para rawi yang menjadi transmitter hadis dan sikap mereka dalam menjaga otentisitas hadis-hadis Nabi. Ketiga, ini yang paling urgen, dengan ilmu ini-meski tidak secara langsung-dapat diketahui kualitas dan otentisitas suatu hadis.

Terorientasinya ilmu Rijalil Hadis yang memiliki anak cabang Ilmu Tarikh al-Ruwah (sejarah hidup Rawi) dan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil (justifikasi kualitas pribadi dan intelektualitas rawi), menjadikan kajian historis merupakan sesuatu yamg teramat penting untuk ilmu ini.

Sebagai produk historisitas yang terikat spatio-temporal tertentu, Ilmu Rijalil Hadis-yang menjadikan manusia sebagai subyek dan sekaligus obyeknya-harus dapat memaparkan bahasan dan temuannya dalam skala intersubyektif. Kajian Ilmu Rijalil Hadis yang mengarahkan para figure rawi dalam dataran teoritis seharusnya menginformasikan jawaban terhadap pertanyaan what, who, where dan why.

Idealitas yang demikian tentu perlu diupayakan semaksimal mungkin, karena dataran realitas berbicara lain. Dalam dataran realitas, bagaimanapun juga harus diakui aktivitas Ilmu Rijalil Hadis yang melibatkan tokoh dan pakar yang hidup beberapa abad sebelumnya sampai pada masanya terpaku pada kajian terhadap kitab-kitab yang berkompeten tentang itu. Dus, kajian terhadap rawi yang memiliki rentang waktu yang panjang dari masa sekarang pada akhirnya merupakan kajian terhadap produk-produk tertulis yang mereka wariskan kepada kita.

Dengan menjadikan kitab-kitab Rijalil Hadis sebagai acuan, memunculkan banyak persoalan. Bagaimana sebenarnya kedudukan kitab-kitab tersebut dengan mempertimbangkan data-data yang umumnya diberikan. Ini sangat penting, karena realitas kajian yang dilakukan seorang peneliti biografi dan kualitras pribadi maupun intelektualitas rawi pada umumnya tidak berhenti pada kajian terhadap beberapa orang, tetapi terhadap ribuan bahkan puluhan ribu rawi yang semasa maupun yang hidup beberapa abad sebelumnya, yang seringkali memiliki kesamaan nama sampai beberapa tingkat. Mungkinkah ahli hadis/kritikus dapat memahami secara menyeluruh terhadap berpuluh ribu rawi.

Persoalan semakin bertambah dengan adanya realitas perbedaan metode yang digunakan para peneliti rawi dalam menuliskan karyanya yang nantinya dijadikan acuan bagi orang-orang yang hidup sesudahnya. Ada yang disusun berdasarkan abjad, ada yang berdasar tabaqah dan ada yang didasarkan pada criteria-kriteria tertentu. Kondisi inilah yang menyulitkan bagi pengkaji Ulum al-Hadis, karena adanya keharusan merujuk sebanyak mungkin kitab-kitab dengan berbagai metodenya untuk mendapatkan data yang selengkap mungkin.

Diskurusus yang muncul dalam penilaian ahli hadis terhadap rawi sebagai final step ialah adanya perbedaan kaedah yang dipegangi ahli hadis dalam memberikan penilaian seringnya terjadi perbedaan pandangan di kalangan mereka. Sebagaian menilai seorang rawi dengan predikat “cacat”, sementara yang lain menilai sebaliknya. Kenyataan inilah yang membawa pada perbedaan sikap dalam menghadapi fenomena penilaian yang tidak seragam terhadap rawi yang sama. Ada ahli hadis yang menentukan penilaian rawi berdasarkan pandangan mayoritas, ada pula yang menentukan didasarkan pada penilaian yang diikuti argumentasi yang jelas, dan sebagainya.[6]

Namun sebenarnya, diskursus yang lebih penting bukan sekedar pada ketidakseragaman penilaian ulama’ hadis terhadap rawi yang dikritiknya ataupun ketidakseragaman kaedah jarh dan ta’dil yang dipeganginya. Tetapi lebih pada realitas keberadaan kritikus-bagaimana kondisi sosio-kulturalnya, ada tidaknya persoalan pribadi antara penilai dengan rawi yang dinilai, apa spesialisasi kritikus, atas dasar parameter apa kritukus melakukan aktivitas penilaian, metode/pendekatan apa yang dipergunakan kritikus dalam mengumpulkan data dan menilai para rawi serta dapat tidaknya penilaian kritikus diterima secara akademis-terhadap rawi yang dikritiknya.

Dengan demikian pada dasarnya persoalan yang ada dalam aktivitas kritikus sanad melalui wadah Ilmu Rijalil Hadis adalah bagaimana metodologi yang diberlakukan ulama’ hadis dalam melakukan penilaian dan bagaimana pula metodologi yang seharusnya berlaku dalam Ilmu Rijalil Hadis.

BAB II ILMU TARIKHI AR-RUWAH

  1. Pengertian

Secara terminologis, Ilmu Tarikh al-Ruwat didifinisikan sebagai[7]:

Ilmu yang menerangkan rawi-rawi hadis, dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut.

Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal ihwal para rawi dalam hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi tentang kurun hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah kelahirannya, guru-gurunya, murid-muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya, perlawatannya, tarikh kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadisnya dari guru sebelum dan sesudah guru mengalami ikhtilat, dalam kasus di antara gurunya ada yang mukhtalit, madzhab yang dipeganginya dan lain-lain yang ada hubungannya dengan urusan hadis. Dengan demikian pada dasarnya, ilmu ini memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann hidup rawi yang terkait dalam perlawatan dan periwayatan hadis.

Dengan ilmu ini akan dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua rawi yang menerima dan menyampaikan hadis atau yang melakukan transmisi hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang mentransfer hadis dan terlibat dalam periwayatan adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, para tabi’in, para tabi’ al-tabi’in sampai mukharrij hadis. Mereka inilah yang menjadi focus kajian Ilmu Tarikh Al-Rijal.

Sejarah pertumbuhan Ilmu Tarikh ar-Ruwat sendiri seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan periwayatan dalam Islam, karena bagaimanpun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap para perawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan yang mardud.

Para pakar dalam ilmu hadis member atensi yang cukup besar, karena mereka memerlukan untuk mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya. Mereka mengkhususkan diri dan meluangkan waktu untuk berlanglangbuana dalam kaitannya dengan input sekitar rawi, umur, kediaman, pendengaran hadisnya dari para guru, perlawatannya rawi ke berbagai tempat, kecenderungan madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada kredibilitas para rawi. Karena informasi tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam periwayatan hadis dari aspek pribadi dan intelektualnya sangat mereka perlukan.

Tarikh merupakan salah satu sasaran untuk menolak dan melawan segala bentuk kedustaan atas nama Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah tercatat, Sufyan al-Sauri pernah menyatakan bahwa: “tatkala para rawi telah menggunakan kedustaan, mereka lawan dengan informasi dari tarikhg”.

Diriwayatkan oleh al-Khatib dari Afir Ibn Ma’dan al-Kala’iy, pernah Umar Ibn Musa dating di tengah-tengah kami di Himah, lalu kami mengerumuninya Ia menyatakan, diceritakan kepada kami oleh guru kami yang shalih? Katakanlah kepada kami, supaya

  1. Sejarah Perkembangan

Sejarah pertumbuhan Ilmu Tarikh al-Ruwah sendiri seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan dalam Islam, karena bagaimanpun juga untuk memilih dan memilah hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap para rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan mardud.

Para pakar dalam Ilmu Hadis memberi atensi yang cukup besar, karena mereka memerlukan untuk mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya. Mereka mengkhususkan diri dan meluangkan waktu untuk berlanglang buana dalam keterkaitannya dengan input sekitar rawi, umur, kediaman, pendengaran hadisnya dari para guru. Perlawatannya rawi ke berbagai tempat, kecenderungan madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada kredibilitas para rawi. Karena informasi tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam periwayatan hadis dari aspek pribadi dan intelektualnya sangat mereka perlukan.

Tarikh merupakan salah satu sarana untuk menolak dan melawan segala bentuk kedustaan atas nama Nabi SAW. Dalam sejarah tercatat, Sufyan al-Sauri pernah menyatakan bahwa:”tatkala para rawi telah menggunakan kedustaan, mereka lawan dengan informasi dari tarikh.[8]

Diriwayatkan oleh al-Khatib dari Afir Ibn Ma’dan al-Kala’iy, pernah Umar Ibn Musa datang di tengah-tengah kami di Himah, lalu kami mengerumuninya. Ia menyatakan, diceritakan kepada kami oleh gurunya yang salih, maka tatkala perkataannya sudah lama, aku menyela dengan bertanya, siapa guru kami yang shalih? Katakanlah kepada kami, supaya Kami mengetahui. Ia menjawab, Khalid ibn Ma’dan. Aku bertanya lagi kepadanya, tahun berapa kamu bertenmu dengannya? Dijawab, aku bertemu dengannya tahun 108. Aku bertanya lagi, di mana kamu bertemu? Dijawabnya, di Armenia dalam perang Armenia. Kemudian aku berkata kepadanya, “Takutlah kamu kepada Allah, wahai guru dan janganlah engkau berdusta. Khalid bin Ma’dan wafat tahun 104. Apakah mungkin engkau bertemu setelah empat tahun wafatnya? Aku tambahkan lagi keteranganku kepada engkau, bahwa khalid tidak pernah berperang dalam perang Armenia, dia hanya berperang di Roma.[9]

Produk dari civitas ilmiah tersebut ialah terkumpulnya di hadapan para pakar hadis perbendaharaaan besar biografi rawi dan khobar tentang mereka. Hanya saja perlu dicatat, bahwa ada perbedaan besar antara tarikh al-ruwat dan buku biografi. Dalam buku biografi jelas sekali mencatat sejarah perjalanan seseorang dari masa kecil sampai akhir waktu biografi tersebut tertulis, mencatat peristiwa-peristiwa monumental dengan rinci, memotret perkembangan fisik dan perkembangan pemikiran yang terjadi dan sebagainya. Sementara dalam kajian tarikh al-ruwah, lebih memfokuskan potret rawi sekitar keberadaannya dalam hal mentransmisi hadis.

Satu realitas yang tidak dapat dipungkiri adalah munculnya kitab-kitab tarikh dalam bentuk dan sistem penyusunan yang beragam yang merekam puluhan ribu bahkan ratusan ribu biografi rawi dari masa sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya.

Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah tarikh ar-ruwah pada dasarnya bukan sekedar merangkum biografi para rawi, tetapi yang lebih urgen memuat kredibilitas rawi tersebut dalam periwayatan hadis, yang ini terangkum dalam justifikasi terhadap mereka atau penilaian jarh ta’dilnya.

 

  1. Kitab-Kitab Tarikh Ar-Ruwat

Adanya rentang waktu yang cukup panjang antara pengkaji dan pemerhati hadis dengan para rawi yang terlibat dalam periwayatan hadis menjadikan kajian terhadap rawi hadis tidak bisa lepas dari kitab-kitab peninggalan para pakar hadis sebelumnya. Mengkaji para rawi berarti mengkaji informasi-informasi tentang rawi dari dokumen-dokumen tarikh rijal peninggalan ulama’ terdahulu. Sejauhmana informasi tentang rawi didapatkan, bagaiman pendekatan yang mereka pakai dalam mengkaji rawi, bagaiman mengklarifikasi data yang tertinggal ataupun yang meragukan adalah diantara problem yang pada umumnya dihadapi para pengkaji sejarah ketika berhadapan dengan teks sejarah. Namun bukan berarti tidak ada benang merah untuk menkaji para rawi pada sedekat mungkin kebenaran yang sesungguhnya, karena munculnya multidimensi pendekatan yang ditawarkan dari ilmu-ilmu sosial yang ada.

Secara garis besar kitab-kitab tarikh al-Ruwah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: kitab-kitab yang menerangkan rawi-rawi fdari kalangan sahabat saja, kitab-kitab yang menerangkan rawi-rawi dari semua kalangan secara umum, kitab-kitab yang menerangkan nama-nama rawi, kunyah-kunyahnya, laqab-laqabnya dan nasab-nasabnya.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam hal ini, pertama, bahwa di antara kitab-kitab tersebut ada yang sekaligus merupakan kitab rujukan kegiatan jarh dan ta’dil, karena disamping memberikan informasi tentang rawi juga sekaligus pada bagian akhirnya memberikan justifikasi terhadap rawi tersebut. Sehingga dalam dataran realitas ada kitab tarikh yang khusus merupakan kitab tarikh dan adapula kitab tarikh yang sekaligus merupakan kitab jarh wa ta’dil.

Kedua, bahwa karena beragamnya metode dan sistematika susunan kitab tarikh al-ruwah menjadikan kajian terhadap rawi akan semakin lengkap dan komprehensip dengan melibatkan sebanyak mungkin sumber informasi dari berbagai kitab tarikh yang ada. Dikumpulkannya sebanyak mungkin sumber referensi memiliki fungsi untuk saling konfirmasi, cek dan ricek maupun saling melengkapi antar kitab.

Berkut ini akan dijelaskan masing-masing kitab tersebut.

  1. Kitab-kitab tentang sahabat

Lebih dari tiga puluh buah kitab yang telah dikarang oleh para ulama’ untuk menerangkan secara spesifik rawi-rawi dari kalangan sahabat. Antara lain adalah:

  1. Ma’rifah man Nazala min al-Sahabah sair al-Buldan, karangan Abu al-Hasan Ali Ibnu Abdullah al-Madani (161-234 H). Kitab ini terdiri dari 5 juz.
  2. Kitab al-Ma’rifah, karangan abu Muhammad Abdullah Ibnu Isa al-Marwazi (220-293 H). Kitab ini terdiri dari 100 juz.
  3. Kitab al-Sahabah, karangan Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban al-Busti. Kitab ini terdiri dari lima juz.
  4. Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, karangan Abu Umar Yusuf Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibn Abdil Barr al-Namiri al-Qurtubi (368-463 H). Kitab ini terdiri dari empat juz.
  5. Usul al-Gabah fi Ma’rifah al-Ashab, karangan Izzuddin Abdul Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn al-Asir (555-630 H). Kitab ini terdiri dari lima jilid.
  6. Tajirid Asma’ al-sahabah, karangan al-Hafidz Syamal-Din Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (673-748 H). Kitab ini terdiri dari dua juz.
  7. Al-Isabah fi Tamyiz al-sahabah, karangan Syihab al-Din Ahmad Ibn Ali al-Kanani al-Asqalani (773-852 H). Inilah selengkap-lengkap kitab yang telah dikarang ulama’ dalam bidang ini. Kitab ini terdiri dari delapan juz.
  8. Al-Riyad al-Mustathabah fi Jumlah man Rawa fi Sahihain min al-Sahabah, karangan Yahya Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi (849-911 H).
  9. Al-Bad al-Munir fi Sahabah al-Basyir al-Nazir, karangan Muhammad Qaim Ibn Salih al-Sindi.
  10. Kitab-Kitab yang memuat para rawi secara umum

Tidak kurang dari sembilan puluh buah kitab yang telah dikarang oleh ulama’ dalam bidang ini. Di antaranya ada yang dikarang dengan sistem tarikh, dan ada juga yang ditulis dengan sistem tabaqah.

  1. Kitab-kitab yang ditulis dengan sistem tarikh. Diantaranya adalah:

1). Tarikh al-Ruwah, karya Ibnu Ma’in (158-233 H). Selain menulis kitab ini Yahya Ibnu ma’in dalam bidang ini juga menulis kitab: Ma’rifah al-Rijal dan al-tarikh wa al-Ilal.

2). Al-Tarikh, Karya Abu Amr Khalifah Ibn Khayyan al-Syaibani (…-240 H).

3). Al-Tarikh, karya Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal (164-241 H).

4). Al-Tarikh al-Kabir, karya Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari (194-256 H). Kitab ini terdiri dari empat juz. Selain mengarang kitab ini al-Bukhari dalam bidang ini juga menulis kitab: al-Tarikh al-wasit dan al-Tarikh al-sagir.

5). Al-Tarikh al-Kabir, karya Abu Umar Ahmad Ibn Sa’id al-Sudafi (284-350 H). Ibnu Khair berkata:”kitab ini terdiri dari delapan puluh lima juz”.

6). Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifah ahl al-Siqah wa al-Sidad, karya Abu al-Nasr Ahmad Ibn Muhammad Ibn Husain al-Kalabazi (306-398 H).

7). Tarikh Naisabur, karya Muhammad Ibn Abdillah al-Hakim al-Naisabur (321-405 H). Selain menulis kitab ini al-Hakim dalam bidang ini juga menulis kitab: Tarajim al-Syuyukh dan Tasmiyah man la Akhrajahum al-Bukhari wa Muslim.

8). Tarikh Baghdad, karya Abu bakar Ahmad Ibn Ali Ibn Sabit Ibn Ahmad al-Baghdadi al-Khatib (392-493 H). Kitab ini terdiri dari empat belas juz. Selain menulis kitab ini al-Khatib al-baghdadi dalam bidang ini juga menulis kitab al-Sabiq wa al-Lahiq fi Taba’udi ma baina al-Rawiyain an Syaikhin Wahid.

9). Tarikh Wasit, karya Abu al-Hasan Aslan bin Sahl (-288 H) dan lebih terkenal dengan sebutan Bahsya al-Wasiti.

10). Al-Jami’ Baina al-Sahihain, karya Abu al-Fadl Muhammad Ibn Tahir al-Maqdisi (448-507) H. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Selain menulis kitab ini al-Maqdisi dalam bidang ini juga menulis kitab; Tarikh Ahli al-Syam wa Ma’rifah al-Aimmah minhum wa al-A’lam, Idlah al-Isykal fi Man Ubhima Ismuhu Min al-Nisa wa al-Rijal, dan al-Mughni fi Asma’ Rijal al-Hadis.

11). Tarikh Dimasyq, karya Abu al-Qasim Ali Ibn al-Husain Ibn Asakir al-Dimasyqi (499-571 H). Kitab ini terdiri dari empat puluh jilid. Selain menulis kitab ini Ibnu Asakir dalam bidang ini juga menulis: Tarikh al-Mizzah, Mu’jam al-Syuyukh wa al-Nubala’, dan al-Mu’jam al-Musytamil ala asma’ al-Kutub al-Sittah.

12). Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abu Muhammad abdul Ghani Ibn Abdul Wahid al-Maqdisi (541-600 H).

13). Jami’ al-Ushul li Ahadis al-Rasul, karya Majduddin Abu al-Sa’adat Mubarak Ibn Muhammad Ibn al-Asir al-jazairi (544-606 H). Kitab ini terdiri dari sepuluh juz.

14). Al-Mu’jam fi Tarikh al-Muhaddisin, karya Abu al-Mudaffar Abdul Karim Ibn  Mansur al-Sam’anni (…615 H). Kitab ini terdiri dari empat jilid.

15). Al-Taqyid Li Ma’rifah Ruwah al-Sunan wa al-Masanid, karya Muhammad Ibnu Abdil Gani Ibn Abi Bakr Ibn Nuqtah al-Hanbali al-Bagdadi (…629 H).

16). Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Ibnu Abd al-Rahman al-Mizzi al-Dimasyqi (654-743 H0. Kitab ini terdiri dari lima puluh juz. Kitab ini memperbaiki kitab al-Kamal fi Asma’ al-Rijal karya Abdul Gani Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi.

17). Tazhib Tahdzib al-Kamal, karya Muhammad Ibn Ahmad Ibn Usman al-Dzahabi (673-748 H). Kitab ini mengikhtisharkan kitab Tahzib al-Kamakl karya al-Mizzi. Selain menulis kitab ini al-Zahabi dalam bidang ini juga menulis kitab: Al-Kasyif an-Rijal al-Kutub al-Sittah. Seperti halnya kitab al-Tahzib, kitab al-Kasyif ini pun mengikhtisharkan kitab Tahzib al-Kamal; Tarikh al-Islam wa Tabaqah al-Masyahiri wa al-A’lam. Kitab ini terdiri dari tiga puluh enam jilid; Siyar al-A’lam al-Nubala. Kitab ini mengikhtisarkan kitabnya Tarikh al-Islam tersebut. Kitab ini terdiri dari empat belas jilid.

18). Al-Tazkirah bi Rijal al-Asyrah, karya Muhammad Ibn Ali Ibn Hamzah al-Husaini al-Dimasyqi (715-765 H)). Kitab ini menerangkan rawi-rawi dalam Muwatta’ Malik, Musnad a-Syafi’i, Musnad Ahmad, Musnad Abu Hanifah dan al-Kutub al-Sittah.

19). Tahzib al-Tahzib, karya syihabuddin Abul Fadl Ahmad Ibn Ali Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852 H). Kitab ini terdiri dari dua belas jilid. Kitab ini menyarikan kitab Tahzib al-Kamal karya al-Mizzi. Selain menulis kitab ini menyarikan kitab Tahzib al-Tahzib tersebut.

20). As’af al-Mubatta’ bi Rijal al-Muwatta’, karya Jalaluddin Abdurrahman Ibn al-Kamal al-Suyuti (849-911 H).

  1. Kitab-Kitab yang ditulis dengan sistem Tabaqat

1). Al-Tabaqh al-Kubra, karya Muhammad Ibn Sa’ad Ibn Mani’ (168-230 H). Kitab ini terdiri dari tiga belas jilid. Selain menulis kitab ini Ibn Sa’ad dalam bidang ini juga menulis kitab al-Tabaqah al-Sugra.

2). Tabaqah al-Ruwah, karya Abu Amer Khalifah Ibn Khayyat al-Syaibani (…240 H).

3). Tabaqah al-Tabi’in, karya Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (204-261 H).

4). Al-Tabi’in, karya Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban al-Busti (270-354 H). Kitab ini terdiri dari dua belas juz. Selain menulis kitab ini, Ibnu Hibban dalam bidang ini juga menulis kitab: Atba’ al-Tabi’in, terdiri dari lima belas juz; Tubba’ al-Tabi’I, terdiri dari lima belas juz; dan al-Tabaqat al-Asbihaniyyah.

5). Tabaqah al-Muhaddisin wa al-Ruwah, karya Abu Nu’aim Ahmad Ibn Abdillah Ahmad al-Asbihani (336-430 H).

6). Tabaqah al-Huffaz, karya Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Usman al-Zahabi (673-748 H). Kitab ini terdiri dari empat juz. Selain menulis kitab ini al-Zahabi dalam bidang ini juga menulis kitab Tarikh al-Islam wa Tabaqah al-Masyahir wa al-A’lam.

7). Tabaqah al-Huffaz, karya Jalaluddin Abdurraman Ibn al-Kamal Ibn Abi Bakr al-Suyuthi (849-911 H).

8). Mukhtasar Tabaqah Ulama’ Afriqiyyah wa Tunis, karya Abu al-Arab Muhammad bin Ahmad al-Qairuni (-333 H). Kitab inilah yang kemudian diringkas kembali oleh Abu Umar Ahmad bin Muhammad al-Mu’ariifi al-Talmanki, dalam bidang ini juga menulis kitab: Al-Asma wa al-Kuna al-Asma al-Mubham fi al-Anba al-Muhkamah, dan Talkhis al-Mutasyabih fi al-Rasm fi Asma al-Ruwah.

Kitab-Kitab tentang Nasab-Nasab

1). Ma Ittafaqa min Asma’ al-Muhaddisin wa Ansabuhu Gaira Anna fi Ba’dlihi Zyadah Harf Wahid, karya Abu Bakr ahmad Ibn Ali Ibn Sabit al-Baghdadi (al-Khatib) (392-463 H).

2). Al-Ansab al-Muttafaqah fi al-Khatt al-Mutamasilah fi al-Naqd wa al-Dabt, karya Muhammad Ibn Tahir al-Maqdisi (488-507 H).

3). Iqtibas al-Anwar wa Iltimas al-Azhar fi Ansab al-Sahabah wa Ruwah al-Asar, karya Abu Muhammad Abdullah Ibn Ali al-Lakhmi al-Andalusi (al-Rasyati) (446-542 H).

4). Al-Ansab, karya Taj al-Islam Sa’id Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Abi al-Tamimi Sam’ani (506-562 H).

5). Al-Lubab, karya Ali Ibn Muhammad al-Syaibani al-Jazari (555-630 H). Kitab ini terdiri dari tiga jilid. Kitab ini mengikhtisarkan kitab al-Ansab karya al-Sam’ani.

6). Nisbah al-Muhaddisin ila al-Aba’ wa al-Buldan, karya Muhibuddin Muhammad Ibn Mahmud Ibnu al-Najjar (578-643 H).

7). Al-Aknab fi Takhsis Kutub al-Ansab, karya Qutbuddin Muhammad Ibn Muhammad al-Khaidari al-Syafi’I (821-894 H).

[1] Subhi al-Shalih, Ulum Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilm Lil Malayin, 1977), hlm. 146-147; Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), hlm. 18-22; Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut¨ Dar al-Fikr, 1975), hlm. 302-303.

[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Ttp.: Dar al-Fikr wa Maktabah al-Salafiyah, t.t.}. Juz. I, hlm. 194-195; Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Matbaah al-Ma’rifah, t.t), hlm. 127-128.

[3] Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), hlm. 25.

[4] Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij fi Dirasat al-Asanid, (Halb: al-Matba’ah al-Arabiyyah, 1978), hlm. 107-137.

[5] Nur al-Din Itr, al-Madkhal ila Ulum al-Hadis, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972), hlm. 12. Musthafa Azami, Dirasat fi al-Hadis al-Nabawi, (Ttp.: JaMI’AH AL-Riyadh, 1976), hlm. 391; Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, hlm. 32-33.

[6] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, hlm. 75.

[7] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 253.

[8] Ibid, hlm. 254.

[9] Ibid

MAKNA BERAGAMA: Dari Islam Normatif Menuju Hermeneutika Pembebasan Islam (Oleh: M.Gufron)

Prolog

Kita patut berbesar hati sebagai umat Islam, dengan realitas kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia sekarang ini. Banyak bermunculan majlis-majlis zikir, pengajian, istighasah yang tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam tetapi hal ini terjadi di kalangan para artis, para akademisi, pejabat dan lain sebagainya. Seabreg kegiatan keagamaan yang dilakukan secara intens dan mendapat porsi yang cukup besar, hal ini merupakan bukti bahwa animo masyarakat untuk beragama secara ritual memang semakin meningkat. Pada titik ini, keberagamaan mendapat ruangnya yang sangat massif dan bisa dikatakan berhasil.

Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih tetap menyisakan sejuta persoalan yang mesti dijawab secara serius, Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang menyedihkan; kemiskinan, kebodohan, korupsi, imperialisme budaya dan beberapa problematika lainnya yang semakin menegaskan bahwa agama belum bisa mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Agama berada di sebuah sudut, sedangkan problem kemanusiaan di sudut yang lain. Agama tidak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya.

Karenanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan masyarakat beragama saat ini adalah mengkaji ulang doktrin-doktrin keagamaan sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai doktrin an sich, tetapi lebih difahami sebagai elan progresifitas, doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif dalam menjawab problem kemanusiaan, sehingga agama tidak kehilangan konteks dan subtansinya.

Makna Beragama: Refleksi  Atas pribadi Masyarakat Indonesia

            Jalaluddin Rahmat mencatat ada dua model ke-Islaman di Indonesia. Pertama, ber-Islam dari realitas dan kedua, adalah ber-Islam untuk realitas. Model pertama biasanya lebih berpikiran rasional dan terbuka. Sementara model kedua lebih berupaya untuk memperjuangkan syariah sebagai sebuah otoritas publik. Perjuangan ini sering melewati politisi syariah itu sendiri. Sehingga tidak jarang mereka harus mendekati kelompok yang berkuasa untuk mendukung ideologinya. “Bahkan dengan kemampuannya memiliki otoritas firman Tuhan, mereka telah menjadi dekat dengan penguasa dari pada dengan Tuhan sendiri. Karena itu dalam sejarahnya, Islam model kedua ini sering memenangkan kontestasi keberagamaan umat. Kelompok ini menurut Jalaluddin Rahmat biasanya direpresentasikan para ahli fikih.

Dalam menanggapi problem umat yang semakin rumit, kelompok kedua ini selalu berupaya untuk mengembalikannya pada doktrin teks-teks agama secara harfiah, yang rigid dan kaku. Karena baginya agama telah menjawab seluruh persoalan dalam kehidupan manusia. “Islam huwa alhall”, Islam adalah solusi”. Dan pemecahan masalah yang tidak berdasar pada teks agama dianggap sebagai bid’ah.

Berbeda dengan kelompok pertama yang mengedepankan kebebasan berfikir, agama bagi kelompok ini bukanlah sebuah teks yang tertutup. Kesempurnaan agama bagi kelompok ini tidak difahami sebagai kewajiban untuk mengembalikan semua permasalahan pada teks agama. Kesempurnaan justru merupakan tantangan bagi umat Islam untuk selalu menggali nilai-nilai universal teks tersebut agar selalu sejalan dengan kemajuan zaman. Disinilah dibutuhkannya keberanian untuk menjelajahi dan membongkar doktrin-doktrin agama yang kaku. Teologi kita yang teosentris meniscayakan untuk lebih diarahkan pada teologi antroposentris, tasawuf kita yang individualistik, utopis, mesti lebih diorientasikan pada kesalehan sosial dan lebih fungsional, serta fiqih kita yang sudah tidak up to date lagi, meniscayakan untuk disesuaikan dengan mainstream masyarakat saat ini. Dua model keislaman tersebut menjadi basis lahirnya kelompok-kelompok Islam di Indonesia, Islam kiri, Islam kanan, dan Islam tengah.

Kelompok pertama yang lebih berorientasi pada keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan kelompok kedua yang orientasi keberagamaannya lebih empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali merupakan fakta sosial yang tidak monolitik. Dalam konteks inilah diperlukan fakta sosial yang tidak monolitik. Dalam konteks inilah diperlukan kearifan dan ketawadhuan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut. Keberagamaan yang empiris tak hanya melihat konstruksi pemikiran dan pengalaman keagamaan sekedar hal yang normatif. Paradigma ini sudah bisa melihat paradoks dalam proses keberagamaan dalam masyarakat, bahwa ada masyarakat yang bisa mengikuti doktrin agama dengan tingkat kesalehan yang memadai, tapi ada juga yang karena status sosial tertentu tidak bisa.

Hermeneutika Pembebasan Islam; Sebuah Pembacaan Teks

            Terlepas dari apa yang telah dijelaskan oleh Jalaluddin Rahmat dengan dua model keberagamaan tersebut, apakah ber-Islam dimulai dari teks atau pun konteks, yang lebih penting dari itu semua adalah-meminjam istilah Hegel- untuk selalu mendialektikan antara teks dengan konteks, yang masing-masing tidak boleh mendominasi antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, antara teks dan konteks harus selalu bersentuhan sepanjang waktu. Menurut Fazlur Rahman, iman perlu dan sangat membutuhkan kognisi. Sehingga bila hal ini dibangun akan meningkatkan derajat iman dan taqwa setiap pemiliknya.

Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menawarkan pembacaan teks, dengan metode Double Movement, yaitu dari masa kini ke periode al-Qur’an dan kembali ke masa kini, kita berupaya memahami latar belakang historis ketika al-Qur’an diturunkan. Lebih lanjut bila dijabarkan, gerakan pertama mempunyai dua langkah, yaitu memahami suatu pernyataan sesuai dengan kondisi sosial-historisnya dan problem sosialnya.Dari fenomena yang terjadi atau data-data dan jawaban yang khusus itu akan nampak pernyataan-pernyataan moral sosial dan tujuan-tujuan yang bersifat umum dengan bantuan latar belakang sosio historisnya. Bekal latar belakang ini akan menjadi berarti manakal dipahami secara jernih seperti ketika al-Qur’an diturunkan. Tradisi historis itu menjadi objek penilaian bagi pemahaman yang baru daripada menjadi pemahaman literar terhadapnya. Setelah nilai-nilai moralnya dapat ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah menerapkan nilai-nilai tersebut terhadap kebutuhan masa kini. Dalam kata-katanya ditegaskan, bahwa gerakan yang kedua setelah ditemukan sistematis prinsip-prinsip umum, tujuan-tujuan dan nilai-nilainya, Rahman katakan”to be from this general view to the spesific view that to be formulated and realized now”. (Rahman, 1965, 129).

Menurut Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar tentang wahyu atau teks sangat ditentukan oleh akal. Artinya pengetahuan tentang wahyu tidak dapat diperoleh melalui wahyu itu sendiri. Tidak mungkin mengetahui kebenaran suatu kitab suci atau sunnah kecuali bersamaan dengan pengetahuan bahwa Allah mesti hakim yang adil yang tidak berbuat kejahatan, dan yang demikian ini tidak dapat diketahui kecuali dengan memanfaatkan akal. Oleh karena itu, menurut Hasssan Hanafi pengetahuan tentang Allah hanya mungkin melalui akal, bukan wahyu, atau teks. Apa yang disebut mu’jizat tidak lain adalah pembenaran, bukan penggambaran, artinya kesadaran akan kebenaran nabi sesuai dengan akal. Logikanya, karena akal merupakan prasyarat bagi kebenaran. Dengan demikian akal merdeka dalam dirinya sendiri, tidak tergantung pada wahyu dan tidak membutuhkannya untuk menjelaskan kebaikan atau keburukan, karena keduanya merupakan sifat-sifat dari perbuatan-perbuatan.

Namun demikian sikap mendasarkan diri pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional bukan berarti pengingkaran terhadap konsep kenabian atau menyepelekan peran wahyu, atau ingin mengambil suatu keputusan berdasarkan kepentingan dan nafsu. Akal dalam pandangan Hassan Hanafi (1988, 471), adalah “al-maudhu’iyah wa al-nazahah”  (obyektifitas dan orisinalitas). Kemampuan akal dalam menemukan dan mengetahui berbagai hakikat tidak menafikan wujudnya wahyu sebagai realitas (al-waqi’). Di sini, wahyu memperkuat akal, artinya memperkuat derajat kepastian dan kredibilitasnya. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama pentingnya. Hassan Hanafi menyebutnya bahwa akal dan wahyu merupakan hubungan kesatuan yang sempurna, bahkan disebutnya tidak ada hubungan sama sekali karena hilangnya kedua sisinya yang berbeda dan terpisah, akal dan wahyu ada dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, akal adalah wahyu dan wahyu adalah akal.

Keseimbangan antara akal dan wahyu merupakan suatu pendekatan yang rasional atas kebenaran. Namun demikian ada dimensi lain selain akal dan wahyu, yakni realitas. Dimensi inilah yang sebenarnya merupakan unsur penyatu antara akal dan wahyu. Jadi wahyu tidak ditafsirkan kecuali dengan menyandarkan kepada realitas, sebab realitas hadir dalam “tubuh” wahyu. Sementara fungsi akal adalah menemukan kesatuan antara keduanya. Jelasnya, wahyu dan akal secara bersama-sama menghadapi obyek umum bernama realitas. Suatu persepsi  tentang realitas mesti identik dengan wahyu (Hassan Hanafi, 1991, 31). Jadi wahyu harus dicari pembenarannya dari atas oleh akal dan disahkan dari bawah oleh realitas, sehingga bertemu segitiga akal-wahyu-realitas.

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan memerlukan penalaran yang benar, bahkan penggunaan penalaran yang benar untuk mengetahui ide tentang Tuhan merupakan kewajiban menurut disiplin teologi Islam, baik wajib menurut pertimbangan wahyu maupun wajib menurut pertimbangan akal. Hassan Hanafi sendiri berpendapat bahwa yang wajib bukanlah pengetahuan tentang Tuhan, tetapi pengetahuan tentang alam (al-thabi’iyah), sebab menurutnya manusia tidak akan pernah mungkin mengetahui tentang dzat Tuhan, kecuali hanya mengetahui jejak-jejak-Nya atau pengaruhnya saja di dunia ini melalui pengetahuan tentang hukum-hukum alam dan mendudukkannya untuk kepentingan manusia. Kebenaran tesis Hassan Hanafi bahwa teologi adalah antropologi terletak di sini, bahwa pengetahuan tentang alam dan pengetahuan tentang manusia menjadi premis bagi pengetahuan tentang Tuhan, kosmologis dan antropologis menjadi kerangka bagi teologi.

Oleh karena itu, sudah tidak saatnya bila teologi difahami sebagai wilayah ketuhanan, sedang realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan. Jika mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara teologi sebagai basis transformasi sosial, tidak ubahnya seperti mencari jarum di tengah padang pasir yang maha luas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi macam apa yang bisa dijadikan basis transformasi sosial? Di sinilah pentingnya upaya memanusiakan teologi” dan dan “menteologikan manusia”. Memanusiakan teologi berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia berarti menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis. Karena itulah para pemikir teologi mulai mencari alternatif untuk merumuskan sebuah pemahaman teologi yang lebih memihak kepada manusia, sehingga dalam dalam kristen muncul istilah teologi pembebasan yang belakangan juga diadopsi beberapa pemikir Islam. Teologi model ini dianggap lebih memihak kepada manusia. (Rumadi, 2002, 24). Teologi yang berorientasi praksis untuk kepentingan masyarakat, dan memecahkan  masalah-masalah yang dihadapi langsung saat ini, seperti mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, memberantas kebodohan, melawan penjajahan, sebagai wujud gerakan pembebasan. Menurut Nurcholis Madjid, meski teologi teosentris (teologi yang berpusat pada Tuhan) menghasilkan dampak-dampak positif, berupa adanya pegangan hidup, meski juga dampak itu sendiri juga palsu, akan tetapi justru yang lebih jelas berbahaya, nyata merugikan adalah dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemerosotan harkat dan kemanusiaan. Maka ketauhidan atau secara sederhana difahami keberimanan kita yang seperti ini masih berhenti pada kepercayaan pada “Tuhan”.

Teologi antroposentris adalah merupakan respon terhadap teologi teosentris. Suatu teologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Tuhan telah menciptakan alam semesta. Karena itu manusia (free-Sekuler) untuk menetukan, manusia pusat segalanya.Sebab inti agama adalah cara memanusiakan, menyejahterakan manusia.

Pemikiran-pemikiran teologis kontemporer semestinya merupakan refleksi dari bawah ke atas, dari realitas diproyeksikan pada teks-teks keagamaan. Sementara itu, pemikiran keagamaan (teologi) selama ini bertumpu pada model “pengalihan” yang hanya memindahkan bunyi teks pada realitas. Padahal, teks bukan atau tidak sama dengan realitas itu sendiri. (E. Kusnadiningrat, 199, 3). Alasan inilah meniscayakan revitalisasi teologi, diharapkan dengan perubahan epistemologi ilmu kalam (teologi), akan menjadikan up to date, relevan dengan perkembangan zaman, tidak ditinggalkan masyarakat, karena teologi di sini perduli terhadap realitas masyarakat, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, seperti penjajahan, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan.

Akan tetapi kalau teologi tradisional tetap dipertahankan, maka akan berpengaruh terhadap cara menafsirkan realitas sosial melalui kerangka “atas bawah”, atas dikonotasikan sebagai kebaikan dan kesucian, juga bisa berarti elit yang berkuasa sedang “bawah” berhubungan dengan segala bentuk yang populer, dekaden, rendah dan profan, juga berarti massa yang cenderung anarkhis, sehingga mesti diatur dan direkayasa secara tidak disadari, stratifikasi sosial kemudian dilegitimasi melalui kenyataan wujud herarkial: Tuhan-malaikat-manusia-benda-benda. Padahal, yang namanya teologi merupakan “ideologi” yang menjadi landasan, atau paling tidak menjadi inspirasi, bagi seseorang atau komunitas dalam melakukan interaksi dan transformasi sosial yang terjadi dalam masyarakat Islam, dapat dikatakan tidak mempunyai pegangan, tanpa arah, disorientasi. Dengan demikian peninjauan ulang aspek doktrin teologi sunni merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. (Rumadi, 2002, 13)

Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, berpendapat, dalam suatu bentuk pengabdian (ibadah), ada tiga hal yang masih terkandung di dalamnya, yaitu: spirit (niat), ritus (amal) dan hikmah. Spirit bisa diartikan sebagai niat awal seseorang dalam menjalankan ibadah. Sedangkan ritus dapat dimaknai sebagai praktek dari ibadah itu sendiri. Adapun hikmah, ia merupakan implikasi nyata yang lahir dari kedua aspek sebelumnya. Tiga aspek tersebut mesti terkumpul dalam sebuah bentuk ibadah guna menghindarkan umat Islam ibadah secara persial.

Subtansi Islam itu tersipul dalam firman Allah; I’dilu Huwa Aqrabu littaqwa. Bertaqarub agar sampai pada derajat taqwa, mesti berbuat adil dulu. Hidup berislam pada hakikatnya adalah bertaqarub pada Allah dan cita-citaNya. Cita-cita Allah itu, pokoknya ada pada keadilan.

Epilog

            Beragama itu harus dilandasi dengan ilmu/ akal, dan juga tidak hanya cukup dinikmati oleh diri sendiri, akan tetapi mesti juga punya implikasi terhadap realitas sosial masyarakat sekitar kita. Sholat misalnya, di samping punya tujuan intrinsik, tetapi juga punya tujuan di luar dari tujuan sholat itu sendiri, yang tidak kalah pentingnya yaitu menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama, dengan semangat anti penindasan, perusakan, penjajahan, menghilangkan kebodohan dan menegakkan keadilan. Model beragama tersebut itu lah yang disebut dengan beragama secara empiris, yang dalam konteks ini diperlukan kearifan dan ketawadluan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut.

[1] Disampaikan dalam diskusi mingguan HMJ IAT Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga