Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Meraih Gelar Doktor

Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Meraih Gelar Doktor

Dr. Supardi, sekarang menjabat sebagai Kaprodi Bahasa dan Sastra Arab meraih gelar doctor di Program Studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya Kajian Timur Tengah konsentrasi Linguistik Arab. Sekolah Pascaarjana Universitas Gadjah Mada. Jalur yang diikuti bapak Dr. Supardi dalam meraih gelar Doktornya ini mengikuti jalur Publikasi ilmiah.

Sidang ujian promosi tertutup yang diketua Prof. Dr. Ir. Suryo Purwono, M. Sc., pada 19 juli 2017 berlangusung lancar. Alhamdulillah Dr. supardi mendapatkan predikat sangat memuaskan dari majlis sidang dan menjadi doctor yang ke 3622 Di UGM. Para penguji yang menguji disertasi berjudul “Tipe-Tipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal Bahasa Arab” diantaranya adalah Penguji: Prof. Dr.  I Dewa Putu Wijana,  M. A.,  Prof.  Dr.  Taufiq Ahmad Dardiri,  M. A.,  Dr.  Amir Ma’ruf, M. Hum.,  Dr.  Hisyam Zaini,  M. A.,  Dr. Muhammad Masrukhi,  M. Hum. Semoga bertambahnya doctor di fakultas ushuluddin, adab dan humaniora, khususnya prodi BSA menambah amunisi dan ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh Dr. Supardi amin

AKREDITASI PRODI IAT IAIN SALATIGA

Pembukaan asesmen lapangan oleh Wakil rektor I IAIN Salatiga, Dr. H. Agus Waluyo,M.Ag.

Kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia mengharuskan adanya pengakuan kualitas kinerja sebuah penyelenggaraan program studi dengan penilaian akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional. Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Salatiga sebagai bagian dari PTKIN di Indonesia pun harus melangkah memenuhi tuntutan tersebut.

Keberadaan sebuah progdi yang terakreditasi akan menguatkan eksistensinya di tengah masyarakat pengguna. Kegiatan akreditasi ini akan semakin memperkokoh keberadaan program studi dan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memilih IAT sebagai salah satu program unggulan di IAIN Salatiga.

Asesmen Lapangan untuk akreditasi prodi IAT IAIN Salatiga dilakukan pada tanggal 11-12 Juni 2017.

Penyerahan hasil penilaian asesmen lapangan oleh Asesor BANPT Prof. Dr. H. Iskandar Usman, MA kepada Dekan Fak. Ushuludin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga Dr. Benny Ridwan,M.Hum.
Penyerahan hasil asesmen lapangan dari Dr. Atiyatul Ulya (asesor) kepada Tri Wahyu Hidayati,M.Ag. (Kaprodi IAT)

AKREDITASI PRODI BSA IAIN SALATIGA

pembukaan asesmen lapangan prodi Bahasa dan Sastra Arab

Akreditasi merupakan sebuah proses uji kelayakan keberadaan suatu lembaga atau institusi di tengah masyarakat oleh pihak berwenang. Proses ini menjadi penting untuk memahami kualitas kinerja lembaga tersebut. Prodi Bahasa dan Sastra Arab sebagai sebuah penyelenggara pendidikan di IAIN Salatiga juga melakukan proses akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Visitasi asesmen lapangan prodi BSA dilaksanakan pada tanggal 9- 10 Juni 2017 yang bersamaan dengan visitasi asesmen lapangan prodi AFI. Tim assessor tiba di IAIN Salatiga pada tanggal 9 Juni 2017, diterima oleh jajaran dekanat dan ketua prodi BSA langsung melakukan peninjauan lapangan. Hari berikutnya tim asesor disambut oleh Warek Bidang Kemahasiswaan dalam acara pembukaan asesmen lapangan yang dihadiri oleh segenap sivitas akademika IAIN Salatiga, tak terkecuali perwakilan mahasiswa prodi BSA.

foto bersama dengan asesor

Tim asesor BAN-PT yang terdiri dari Dr. H. As’aril Muhajir, M. Ag dan Dr. Yayan Nurbayan, M.A., melakukan tanya jawab untuk penilaian 7 standar dokumen prodi BSA. Standar- standar tersebut meliputi Visi Misi Tujuan Prodi, Tata Pamong, Mahasiswa dan Lulusan, Sumber Daya Manusia, Kurikulum dan Iklim Pembelajaran, Sarana Prasarana, serta Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerjasama. Acara diakhiri dengan penyerahan hasil asesmen lapangan dari tim asesor, yang diterima oleh ketua prodi BSA dengan ungkapan terima kasih. Semoga dengan proses akreditasi ini, menjadi pemantik prodi untuk semakin berbenah, berkembang dan membawa kemaslahatan umat. Rin S.

KKL MAHASISWA SPI : BELAJAR LANGSUNG DARI MASYARAKAT SAMIN

Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga (29 April 2017),  melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan mengunjungi komunitas Sedulur Sikep (Samin) di Desa Larik Rejo Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Berbeda dengan masyarakat Samin di Blora, masyarakat Samin (yang lebih suka menyebut komunitasnya sebagai Sedulur Sikep) merupakan komunitas minoritas di tengah-tengah Masyarakat Muslim di Undaan Kudus. Menurut Bapak Budi Santosa, sesepuh Sedulur Sikep, jumlah komunitas Samin seluruhnya hanya berjumlah 34 orang dari 500-an lebih warga Desa Larik Rejo.

[URIS id=647]

Masyarakat Samin pada umumnya digambarkan sebagai salah satu suku etnis di Jawa Tengah yang anti pendidikan, anti moderenitas, dan anti politik. Pandangan hidup semacam itulah yang menjadi alasan mengapa masyarakat Samin menjadi salah satu suku etnik yang “unik” khususnya dalam konteks masyarakat modern. Keunikan tersebut tentunya menjadi alasan ketertarikan umum, termasuk Mahasiswa SPI IAIN Salatiga, untuk mengkaji dan bersentuhan langsung dengan masyarakat Samin. Bagaimana mereka bertahan di tengah-tengah gempuran globalisasi dan moderenisasi yang mengepung mereka dari berbagai sektor?

Rombongan KKL yang berjumlah kurang lebih 25 orang berangkat dari Salatiga pada Jam 06:15 WIB menuju Kudus. Sesampainya di Bawen, perjalanan kami sempat terhenti selama 1 jam lebih. Mini Bus yang kami tumpangi mengalami Kebocoran Ban. Akibat peristiwa tersebut, “pesimisme” memang sempat menggerogoti semangat peserta rombongan. “Padahal, jam 08:00 WIB kita harus sudah sapai TKP,” ungkap salah satu peserta rombongan dengan wajah agak masam.

Setelah melalui berbagai kendala, ban bocor hingga kemacetan, akhirnya rombongan tiba di tempat tujuan kurang lebih pada jam 11:00 WIB. Masyarakat Samin menyambut rombongan dengan jabatan dan senyum kebahagiaan. Selain kunjungan dari IAIN Salatiga, saat itu masyarakat Samin juga sedang melayani kunjungan dari mahasiswa STAIN Kudus dan UII Yogyakarta.

Yang paling mengejutkan, ternyata saat itu Masyarakat Samin sedang kedapatan tamu dari Pemerintahan Kabupaten Kudus, tepatnya 4 orang utusan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Kunjungan KPUD Kab. Kudus tersebut dalam rangka sosialisasi Pemilihan Bupati Kudus yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Tentunya, hal tersebut mematahkan anggapan kami sebelumnya yang mengklaim masyarakat samin sebagai komunitas yang anti politik. Bahkan, Kepala Desa Larik Rejo dalam sambutannya menyatakan bahwa Masayarakat Samin merupakan peserta aktif dalam seluruh kegiatan politik yang di laksanakan di Kudus, baik sebagai peserta dan bahkan ada pula yang terlibat dalam kepanitiaan.

Hal demikian cukup menegaskan bahwa Masyarakat Samin bukan masyarakat terbelakang yang jauh dari politik, pendidikan, dan globalisasi. Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat Samin—khususnya pemuda—telah sedemikian akrab pula dengan smartphone. Di sela-sela acara, sempat kami lihat beberapa pemuda Samin sudah sedemikian mahir berselancar di dunia maya dengan smartphone di genggaman mereka.

Meski demikian, kaum Samin tetaplah kaum Samin yang selalu dianggap berbeda. Bahkan, menurut pengakuan Bapak Budi Santoso, komunitasnya harus melalui perjuangan panjang untuk mendapatkan “keadilan.” Meski sudah memiliki KTP, kenyataannya mereka belum bisa mengakses fasilitas-fasilitas negara secara penuh hanya karena status Agama mereka yang belum diakui oleh Negara.

Menurut salah satu pemuda Samin (30) yang tidak mau disebutkan namanya, dirinya sempat beberapa kali ditolak oleh beberapa perusahaan hanya karena status Agama. Bahkan, status Agama juga menjadi kendala utama mereka dalam mendapatkan pengakuan administratif bagi keturunan mereka, terutama Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Surat Nikah dan lain sebagainya.

Meski demikian, kondisi tersebut tidak sedikitpun menyurutkan semangat masyarakat Samin untuk memperjuangkan keadilan. Dalam upaya tersebut, Masyarakat Samin sering kali melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak, baik dari pihak Pemerintah, LSM, dan lain sebagainya, untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan. Dengan uapaya-upaya tersebut serta mengalirnya dukungan-dukungan dari pihak luar, kini masyarakat Samin Kudus semakin optimis akan masa depan mereka. Meski mereka tahu bahwa perjuangan yang harus mereka jalani tidaklah mudah. Mereka hanya membutuhkan kesabaran dan konsistensi dalam garis perjuangan. (Ahmad Faidi)

SEJARAH PERTANIAN INDONESIA URUSAN SIAPA?

IMG_20170426_103155Lembaga pendidikan agama terkadang latah mendikotomikan tematik bidang umum dengan tematik agama. Latah demikian alih-alih menimpa juga disiplin sejarah menjadi sejarah umum dan sejarah tematik agama tertentu. Peristiwa sejarah sesungguhnya demikian cair dengan saling bersinggungnya aneka variable sosial terjadi harus rela terpangkas-pangkas secara parsial oleh “aksi-simplifikasi” dikotomi perspektif umum dan agama. Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga tidak ingin berkubang dalam perspektif dikotomik demikian. Meskipun banyak pihak melihat urusan pertanian sebagai domain umum namun tidak demikian dengan Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga. Pada Rabu 26 April 2017 lalu Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga melalui forum Historia menyelenggarakan diskusi rutin dengan tema sejarah pertanian. Tampil sebagai pembicara Arif Wibowo, SP., MSi dengan tajuk  makalah Matinya Pertanian Rakyat.

Walau bukan akademisi namun Alumni Pertanian UNS dan Magister Studi Islam UMS ini memiliki perhatian tinggi pada isyu-isyu pertanian dan perkembangannya. Arif Wibowo dalam presentasinya memulai paparannya dengan isyu sistem ekonomi Weberian era Orde Baru dan proyek revolusi hijau. Pada masa Orde Baru pemerintah melakukan pembaharuan di bidang pertanian lewat program Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus. Program-program ini adalah implementasi dari Revolusi Hijau yang digagas para ahli pertanian dunia sejak dekade 1950-an-1960-an sebagai respon atas ramalan krisis pangan Robert Malthus. Revolusi Hijau yang digerakkan pemerintah Orde Baru dalam jangka pendek memang seolah menjadi berkah namun dalam jangka panjang ternyata menghancurkan sektor pertanian itu sendiri. Penggunaan pupuk non-organik, pestisida, dan insektisida yang terakumulasi sekian lama menghancurkan keseimbangan ekosistem pertanian. Tidak hanya itu, Revolusi Hijau juga menyebabkan perubahan mendasar pada kultur hidup dan kultur bertani masyarakat Indonesia dalam berhubungan dengan petani lain, alam, tekonologi, pemerintah dan perusahaan-perusahaan penyedia sarana produksi. Perubahan moral pertanian tradisional berujung pada hilangnya kemandirian petani hiongga hari ini.

Arif Wibowo menempatkan kerusakan kultur pertanian Indonesia ini bukan saja menjadi domain sejarah umum melainkan bidang Sejarah Peradaban Islam juga karena peristiwa ini justru lebih banyak menimpa masyarakat muslim juga. Benang merahnya adalah pertama masyarakat muslim adalah penduduk mayoritas Indonesia dan berada di pedesaan-pedesaan dengan mata pencarian sebagai petani. Kultur agrikultur di desa yang sebelumnya membawa kemandirian ekonomi bagi petani dan keluarganya berubah menjadi demikian berat karena beban harus mensubsidi kebutuhan Negara. Pemaksaan varietas tanaman yang harus ditanam, pola tanam, standarisasi kebutuhan hidup akibat modernisasi yang dipaksakan alih-alih menyerap sumber daya masyarakat besar-besaran ke luar desa dan membangkrutkan kehidupan pertanian di pedesaan. Penghasilan yang tidak seimbang kebutuhan hidup membuat petani menjual tanah dan beralih profesi. Petani di desa menjadi miskin karena tercerabut dari akarnya pertanian mereka.. Dengan kata lain, Involusi pertanian Indonesia dampak Revolusi Hijau seharusnya kepedulian umat Islam mengingat sebagian besar masyarakat yang hidup di sektor pertanian adalah juga bagian dari umat Islam. Terabaikannya sektor pertanian oleh organisasi dan gerakan-gerakan Islam –karena obsesi yang berlebihan terhadap politik praktis- membuat sektor ini jsemakin tidak diperhatikan masyarakat muslim Indonesia. Ironis terjadi menurut Arif Wibowo karena terketerpurukan pertanian justru lebih diperhatikan oleh “orang lain” seperti kalangan Katolik melalui gerakan pelayanan. Padahal cita-cita membangun peradaban tidak bisa mengabaikan dunia pertanian yang sejatinya tidak kalah –kalau bukan malah lebih- penting dibanding usaha merebut kekuasaan negara.   (AJ/ADF)