SEJARAH PERTANIAN INDONESIA URUSAN SIAPA?

IMG_20170426_103155Lembaga pendidikan agama terkadang latah mendikotomikan tematik bidang umum dengan tematik agama. Latah demikian alih-alih menimpa juga disiplin sejarah menjadi sejarah umum dan sejarah tematik agama tertentu. Peristiwa sejarah sesungguhnya demikian cair dengan saling bersinggungnya aneka variable sosial terjadi harus rela terpangkas-pangkas secara parsial oleh “aksi-simplifikasi” dikotomi perspektif umum dan agama. Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga tidak ingin berkubang dalam perspektif dikotomik demikian. Meskipun banyak pihak melihat urusan pertanian sebagai domain umum namun tidak demikian dengan Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga. Pada Rabu 26 April 2017 lalu Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Salatiga melalui forum Historia menyelenggarakan diskusi rutin dengan tema sejarah pertanian. Tampil sebagai pembicara Arif Wibowo, SP., MSi dengan tajuk  makalah Matinya Pertanian Rakyat.

Walau bukan akademisi namun Alumni Pertanian UNS dan Magister Studi Islam UMS ini memiliki perhatian tinggi pada isyu-isyu pertanian dan perkembangannya. Arif Wibowo dalam presentasinya memulai paparannya dengan isyu sistem ekonomi Weberian era Orde Baru dan proyek revolusi hijau. Pada masa Orde Baru pemerintah melakukan pembaharuan di bidang pertanian lewat program Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus. Program-program ini adalah implementasi dari Revolusi Hijau yang digagas para ahli pertanian dunia sejak dekade 1950-an-1960-an sebagai respon atas ramalan krisis pangan Robert Malthus. Revolusi Hijau yang digerakkan pemerintah Orde Baru dalam jangka pendek memang seolah menjadi berkah namun dalam jangka panjang ternyata menghancurkan sektor pertanian itu sendiri. Penggunaan pupuk non-organik, pestisida, dan insektisida yang terakumulasi sekian lama menghancurkan keseimbangan ekosistem pertanian. Tidak hanya itu, Revolusi Hijau juga menyebabkan perubahan mendasar pada kultur hidup dan kultur bertani masyarakat Indonesia dalam berhubungan dengan petani lain, alam, tekonologi, pemerintah dan perusahaan-perusahaan penyedia sarana produksi. Perubahan moral pertanian tradisional berujung pada hilangnya kemandirian petani hiongga hari ini.

Arif Wibowo menempatkan kerusakan kultur pertanian Indonesia ini bukan saja menjadi domain sejarah umum melainkan bidang Sejarah Peradaban Islam juga karena peristiwa ini justru lebih banyak menimpa masyarakat muslim juga. Benang merahnya adalah pertama masyarakat muslim adalah penduduk mayoritas Indonesia dan berada di pedesaan-pedesaan dengan mata pencarian sebagai petani. Kultur agrikultur di desa yang sebelumnya membawa kemandirian ekonomi bagi petani dan keluarganya berubah menjadi demikian berat karena beban harus mensubsidi kebutuhan Negara. Pemaksaan varietas tanaman yang harus ditanam, pola tanam, standarisasi kebutuhan hidup akibat modernisasi yang dipaksakan alih-alih menyerap sumber daya masyarakat besar-besaran ke luar desa dan membangkrutkan kehidupan pertanian di pedesaan. Penghasilan yang tidak seimbang kebutuhan hidup membuat petani menjual tanah dan beralih profesi. Petani di desa menjadi miskin karena tercerabut dari akarnya pertanian mereka.. Dengan kata lain, Involusi pertanian Indonesia dampak Revolusi Hijau seharusnya kepedulian umat Islam mengingat sebagian besar masyarakat yang hidup di sektor pertanian adalah juga bagian dari umat Islam. Terabaikannya sektor pertanian oleh organisasi dan gerakan-gerakan Islam –karena obsesi yang berlebihan terhadap politik praktis- membuat sektor ini jsemakin tidak diperhatikan masyarakat muslim Indonesia. Ironis terjadi menurut Arif Wibowo karena terketerpurukan pertanian justru lebih diperhatikan oleh “orang lain” seperti kalangan Katolik melalui gerakan pelayanan. Padahal cita-cita membangun peradaban tidak bisa mengabaikan dunia pertanian yang sejatinya tidak kalah –kalau bukan malah lebih- penting dibanding usaha merebut kekuasaan negara.   (AJ/ADF)

KKL MAHASISWA IAT DI PP. AL-MUNAWIR DAN BAITUL HIKMAH YOGYAKARTA

Pada hari Senin tanggal 24 April 2017, telah dilaksanakan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora (Fuadah) IAIN Salatiga. KKL kali ini dilakasanakan denngan mengadakan kunjungan ke Ponpes Al-Munawir dan Baitul Hikmah yang beralamat di Jalan Kyai Haji Ali Maksum PO. Box 1192 Krapyak, Yogyakarta. Mahasiswa yang mengikuti KKL kali ini dari semester 4 sejumlah 35 mahasiswa yang didampingi oleh para Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), yakni Dekan Fuadah Dr. Benny Ridwan, M.Hum, Sekjur IH Dra. Siti Muhtamiroh, M.Ag, serta Dosen IAT yaitu Muhammad Nuryansah M.Hum dan Farid Hasan M.Hum. Tujuan KKL pertama yaitu menuju Pondok Pesantren al-Munawir yang disambut oleh Pengasuh Pondok Pesantren al-Munawir, Kyai Mas’udi dan Kyai Jalal. Pada kesempatan yang sama Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin M.A juga turut menyambut. Beliau merupakan pengasuh dari Baitul Hikmah sekaligus Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga. Selain itu, beliau adalah pakar tafsir dan hermeneutika Al-Quran.

kkl iat jogja

Kegiatan di tempat ini diawali dengan penyampaian profil Pondok Pesantren Al-Munawir dan Baitul Hikmah oleh Kyai Mas’udi dan Dr. Phil. Sahiron. Pondok pesantren Al-Munawir adalah salah satu lembaga pendidikan yang dalam khazanah ilmu dunia pesantren dikenal dengan istilah salaf yang hingga saat ini mampu bertahan dan bahkan terus berkembang dalam kiprahnya membangun bangsa dan Negara Indonesia. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya Pondok Pesantren Al-Munawwir tidak hanya mengkhususkan pendidikannya dalam bidang Al-Qur’an saja, melainkan merambat ke bidang ilmu yang lain, khususnya kitab-kitab kuning (kutubussalafu assholih) yang kemudian disusul dengan penerapan sistem madrasah (klasikal) yang melahirkan lembaga- lembaga pendidikan, terang Kyai Mas’udi kepada mahasiswa IAT.

Kegiatan selanjutnya berkenaan dengan praktikum Ilmu Qiraat yang menjadi topik penting dari KKL kali ini. Kegiatan ini dipimpin oleh Kyai Jalal dengan menjelaskan sejarah, macam-macam Qiraat, hingga perkembangan Ilmu Qiraat pada masa sekarang. Kyai Jalal turut melakukan bimbingan praktik Qiraat yang dilakukan oleh santriwati Al-Munawir bersama-sama dengan mahasiswa IAT IAIN Salatiga.

Dr. Phil. Sahiron menegaskan bahwa banyaknya macam Qiraat (Qiraah Sab’ah) menjadi indikasi bahwa Islam adalah agama yang toleran. Maka sangat penting bagi kita selaku umat muslim untuk terus melestarikan Ilmu Qiraat yang sekarang semakin sedikit peminatnya.

“Semoga dengan diadakannya KKL di Pondok Pesantren al-Munawir dan Baitul Hikmah ini, mahasiswa IAT dapat memperoleh pengetahuan baru baik mengenai kelembagaan dan pencerahan tentang Ilmu Qiraat. Serta dapat mengamalkan dan menyumbangkan ilmunya suatu saat nanti,” Ujar Dekan Fuadah, Dr. Benny Ridwan, M. Hum saat menutup sesi  tanya-jawab dengan pihak Pondok Pesantren Al-Munawir dan Baitul Hikmah.

 Kegiatan ini diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara kedua belah pihak, yaitu Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora IAIN Salatiga dengan Pondok Pesantren al-Munawir dan Baitul Hikmah Yogyakarta. (Farid Hasan)

KUNJUNGAN PRODI IAT IAIN SALATIGA KE PP YANBU’ AL-QUR’AN, PENERBIT TOHA PUTRA, DAN PP AL-MUNAWIR YOGYAKARTA

foto bersama dengan asatidz pondok Yanbu’ul Qur’an

Tujuan Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN Salatiga adalah menyiapkan sarjana yang mempunyai kemampuan akademik dan professional dalam bidang Al Qur’an dan Tafsir, yang mampu memberikan kontribusi pada masyarakat, dan siap berkompetisi di era global. Dalam rangka membekali mahasiswa agar kompeten di bidangnya, Prodi IAT menyelenggarakan Praktikum Pengembangan Profesi, yang meliputi KKL (Kuliah kerja Lapangan) dan PPL (praktik Pengalaman Lapangan).

KKL yang fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan menyebabkan lokasi dan sasaran KKL berbeda setiap tahunnya. Kegiatan KKL tahun 2017, mahasiswa IAT diajak berkunjung  Ponpes al-Munawir Krapyak Yogyakarta, Penerbit Toha Putra Semarang, Ponpes al-Itqan Semarang dan Ponpes Yanbu’ al-Qur’an di Kudus. Pemilihan lokasi ini didasarkan kepada sasaran strategis yang hendak dicapai yakni pemberian bekal pengetahuan kepada mahasiswa yang bersifat praktis dan komparatif tentang proses kerja dan kinerja lembaga-lembaga terkait dalam bidang Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Kunjungan pertama dilakukan pada tanggal  5 April 2017 di Ponpes Yanbu’ al-Qur’an. Di sini mahasiswa dapat memperoleh bekal bagaimana metode menghafal al-Qur’an dan menjaganya. Materi disampaikan oleh KH Syaiun ‘azhim,M.Pd. Mahasiswa juga mendapat pengalaman langsung tentang pengelolaan pesantren.

K.H. Syaiun ‘Azhim, M.Pd. al-Hafizh sedang menyampaikan materi tentang metode menghafal al-Qur’an di PP Yanbu’ al-Qur’an

Mahasiswa berkunjung ke Penerbit Toha Putra dan PP al-Itqan (10 April 2017). Di Toha Putra mahasiswa mendapatkan penjelasan tentang proses pencetakan al-Qur’an dari awal sampai akhir, bahkan dapat menyaksikan secara langsung proses percetakan sampai siap dipasarkan. Di sini mahasiswa dapat memperoleh pengalaman langsung bagaimana cara peberbit Toha Putra menumbuhkan sikap dan suasana ukhuwah dan diniyyah di perusahaan. Sedangkan di PP al-Itqan, mahasiswa dapat mendapatkan penjelasan tentang pembelajaran tafsir al-Qur’an yang fenomenal di pesantren ini, dengan 7000 peserta, majlis tafsir al-Ibriz sudah bertahan lebih dari dua puluh tahun

Mahasiswa menerima penjelasan tentang berbagai mushaf yang telah diterbitkan oleh Toha Putera
K.H. Kharis shadaqah memberikan sambutan dan wejangan kepada mahasiswa IAT

Pada kunjungan di Ponpes al-Munawir Krapyak (19 April 2017), mahasiswa mendapat kesempatan langsung bertemu dengan Pengasuh PP al- Munawir, yaitu KH Muhammad Najib Abdul Qodir al-Hafizh. Para mahasiswa mendapatkan arahan dan bimbingan tentang bagaimana menghafal al-Qur’an dan sekaligus belajar tentang ilmu Qiraat al-Qur’an. Karena padatnya acara KH Najib, penjelasan tentang ilmu Qiraat dan pembelajarannya dilanjutkan oleh Gus Mas’udi Fathurrahman (Putra menantu KH Najib), yang juga pakar ilmu qiraat. Gus Mas’udi telah menulis buku tentang ilmu qiraat berjudul “Metode Praktis Sorogan Qiraat Sab’ah” (terbit tahun 2012). Pada kesempatan ini, mahasiswa juga mendapatkan kesempatkan untuk memperoleh pencerahan tentang hubungan ilmu qiraat dan tafsir al-Qur’an. Tema ini disampaikan oleh Dr. Sahiron Samsudin (pakar Tafsir UIN Sunan Kalijaga, sekaligus pengasuh ponpes Baitul Hikmah).

 

 

SEMINAR DAN CALL FOR PAPERS : ARAH BARU GERAKAN DAN STUDI KEISLAMAN DI INDONESIA

Millati merupakan Jurnal Studi Islam dan Humaniora yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, dalam rangka mewadahi dan mengembangkan studi keislaman di Indonesi. Jurnal Millati, yang baru merilis Volume 1 pada tahun 2016 lalu,  ternyata mendapatkan animo yang begitu besar dari insan akademis di seluruh Indonesia. Hal demikian cukup nampak dalam membeludaknya peserta “Seminar dan Call for Papers” yang digelar di The Wujil Resort & Convention pada tanggal 17-18 April 2017.

Prof. Dr. H. M. Machasin, M.A. Saat Memberikan Materi

Seminar yang berlangsung dua hari ini menghadirkan keynote speaker Prof. Dr. H. M. Machasin, M.A. (Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Dr. Benny Ridwan, M.Hum (Dekan Fakultas Ushuludin, Adab, dan humaniora). Menurut Dr. Benny Ridlwan, M.Hum,  acara Seminar dan Call for Papers yang mengangkat tema “Arah Baru Gerakan dan Studi Keislaman Indonesia” tersebut mampu menjaring sekitar 67 artikel yang berasal dari para mahasiswa, dosen, dan peneliti di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Setelah diseleksi oleh tim redaksi, terhitung hanya 47 artikel yang lolos dan terpilih untuk dipresentasikan dalam acara tersebut.

Pemakalah Dan Tamu Undangan

Pemakalah Dan Tamu Undangan

 

“Itu artinya, jurnal Millati di tahun 2017 ini sudah siap diterbitkan dengan artikel yang masuk melalui pertemuan ini,” ujar Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora.

Dr. Benny Ridwan, M.Ag. Saat Memberikan Sambutan
Lebih jelas Prof. Dr. H. M. Machasin, M.A. dalam menyampaikan materinya mengatakan, gerakan anti klimaks di Indonesia yaitu gerakan Islam dengan agama satu pilihan. Yaitu, model apabila tidak sesuai dengan pilihan maka disebut kafir, jadi Islam itu hanya satu. Tetapi setidaknya ada tiga variabel yang harus diperhatikan dalam arah baru pergerakan keislaman, yaitu: kenyamaan hidup, keadilan, dan kehormatan bagi muslim di negeri ini.

“Jadi selama kenyamanan hidup tidak baik, keadilan dirasakan diciderai, serta kehormatan bagi muslim tidak dihormati, maka gerakan keislaman akan bersifat profokatif dan radikal,” imbuh Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Gus Dur, bahwa dalam merekayasa keislaman di Indonesia perlu mempertimbangkan “apa” yang dialami oleh bangsa ini secara keseluruhan.

Sumber Berita: http://iainsalatiga.ac.id/web/arah-pergerakan-keislaman-di-indonesia/#more-6439

HALAQAH PESANTREN : WUJUD KEPEDULIAN FUADAH TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT

foto 1Salatiga (30/03). Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga kembali mengadakan halaqoh pesantren yang ketiga kalinya. Acara ini merupakan kesinambungan peran perguruan tinggi Islam dalam memberdayakan pesantren-pesantren di Jawa Tengah. Acara digelar di Aula Kampus 1 IAIN Salatiga dengan menghadirkan Mukhlis Hanafi (Direktur LPTQ Kemenag Jakarta) dan Abdul Ghofur Maimoen (Ketua STAI al-Anwar Sarang Rembang) sebagai narasumber dan dihadiri lebih dari 60 delegasi pesantren-pesantren dan perwakilan organisasi mahasiswa.

Tema yang diusung adalah “Mengukuhkan Kembali Peran Pesantren dalam Mewujudkan Masyarakat Maju Bermartabat dalam Bingkai NKRI” dengan harapan pesantren menjadi basis keutuhan NKRI melalui moderasi pemahaman agama. “Bersama Fak. Ushuluddin, Adab dan Humaniora, pesantren diharapkan lebih berkontribusi bagi masyarakat melalui peran santri-santri dan alumninya” lanjut Benny Ridlwan selaku Dekan.

Secara khusus Abdul Ghofur menjelaskan genealogi pesantren. “model pengajaran halaqoh (lingkaran diskusi) yang diterapkan di pesantren Nusantara sudah diperkenalkan pertama kali pada masa Nabi Muhammad melalui Ahlu Suffah (orang yang menumpang hidup di masjid Nabi), kemudian melembaga menjadi madrasah sejak masa Imam al-Ghazali, dan hingga kini model halaqoh masih diterapkan di Universitas al-Azhar Cairo”. Lebih lanjut, Ghofur menuturkan hingga kini masih banyak pesantren yang berorientasi pada fiqh al-nash (pemahaman teks). Seyogyanya pesantren mulai menerapkan teori-teori yang dipelajari untuk memahami kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Peningkatan jumlah pesantren di Indonesia hingga 27.270 merupakan respon positif untuk menangkal radikalisme yang berkembang di masyarakat, khususnya remaja.foto 2

Mukhlis Hanafi menguatkan bahwa sejak masa kolonialisme pesantren memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan tradisi Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini santri dihadapkan pada dua hal; pesatnya faham transnasional yang menggerogoti keutuhan NKRI, dan arah baru kebijakan luar negeri yang mulai melirik negara-negara Timur Tengah. Mukhlis menyarankan supaya bahasa Arab dan ilmu alat yang diajarkan di pesantren tidak sekedar untuk memahami teks agama, tetapi lebih menjadi sarana komunikasi untuk menjalin hubungan bilateral dengan Timur Tengah. Melalui itu santri akan terlibat aktif dalam mengkampanyekan Islam Moderat. Keuntungan model pendidikan di pesantren adalah adanya penguatan ilmiah melalui tradisi merujuk kitab salaf serta penguatan mental.

Sebagai orang yang bersinggungan dengan pusat pemerintahan, Mukhlis tetap berusaha mereformulasi kurikulum pesantren dengan mengkombinasikan kurikulum pesantren setempat dan kurikulum pesantren dari kementrian agama. Di samping itu pemerintah telah memberikan peluang bagi santri untuk mengisi jabatan-jabatan fungsional sebagai penerjemah bahasa Arab yang selama ini tidak terpenuhi. (M. Rikza Muqtada)