Salatiga, 06 Maret 2020. Pelantikan pengurus SEMA, DEMA, HMPS masa bhakti 2020 dilaksanakan pada
06 Maret 2020 di Aula Gedung Kesekertariatan Fakultas Syari’ah IAIN salatiga. Pelantikan
ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,
dan Humaniora Benny Ridwan, M.
Hum, Abdul Syukur, M. Si., segenap pembimbing
HMPS Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Humaniora dan semua calon pengurus SEMA,
DEMA, HMPS Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Humaniora yang akan dilantik.
Pelantikan ini terlakasana dengan khidmat dengan simbol
penandatanganan serta penyerahan Surat Keterangan (SK) Pengurus SEMA, DEMA,
HMPS Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga diwakili oleh
para ketua masing-masing.
“Pertama, setelah anda
dilantik maka anda harus memantaskan diri sebagai pengurus. Maka apabila tidak
pantas lebih baik mengundurkan diri. Sebagai pengurus maka anda harus jadi
panutan (leader) dari 1300 mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora. Kedua,
iman, islam, ihsan dan amal langkah pengabdian harus dijadikan
acuan bagi semua pengurus. Virus-virus keimanan, keislaman,
dan keikhsanan itu lebih bahaya dari virus Corona yang sedang jadi
trending topic. Ketiga, kaderisasi harus ditingkatkan menuju kualitas Fakultas
Ushuluddin, Adab dan Humaniora”. Ucap Dekan dalam sambutannya.
Kini, kita telah memasuki era milenial; dimana dalam satu waktu manusia bisa hidup di dua alam sekaligus, yakni dunya (dunia nyata) dan dumya (dunia maya). Dunya dan dumya adalah dua alam yang sama sekali berbeda satu sama lain. Jika dunya memiliki batas-batas sosial, spasial, dan temporal yang tegas, justru sebaliknya dumya adalah alam imitasi yang justru mampu meretas batas-batas itu. Anehnya, manusia yang katanya terbatas dalam ruang dan waktu,kini hidup bebas dan cenderung liar dalam dunia maya yang seakan tak terbatas itu.
Migrasi keilmuan yang begitu cepat, yang termanifestasi dalam kecanggihan teknologi informasi masa kini, harus diakui sebagai prestasi luar biasa yang telah mampu mendorong manusia melampaui mitos-mitos masa lalunya. Pada zaman bahula, komunikasi jarak jauh adalah mitos, orang bisa hadir secara visual di beberapa tempat berbeda dalam satu waktu adalah mitos, migrasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lainnya secepat kilat adalah mitos. Sekarang, hanya dengan smartphone, generasi milenial mampu menembus tembok-tembok mitos yang dibangun para leluhurnya.
Sungguh, kecerdikan akal manusia telah mampu mengantarkan generasi milenial menjadi makhluk yang paling lentur dan paling liar sekaligus. Dikatakan Lentur, karena manusia milenial telah mampu menembus batas-batas ruang dan waktu. Mungkin, kondisi ini dapat kita sebut sebagai bentuk transformasi dari ilmu halimun[1] di era milenial. Dikatakan liar, karena manusia mampu meretas batas-batas nilai dan norma yang dianggap telah mengekangnya dalam dunia nyata. Di dunia maya, mereka bebas menciptakan makhluk-makhluk abstrak (baca: akun-akun palsu) yang bisa berceloteh tentang apa saja, memaki-maki siapa saja, bebas memilih jenis kelamin, dan bebas memilih status sosial dan agamanya sendiri. Duh, mungkinkah mereka telah menganggap dirinya sebagai Tuhan?
Proses migrasi manusia—dari makhluk biologis menjadi makhluk virtual—yang begitu cepat dan kilat, telah mengakibatkan pergantian eksistensi manusia yang begitu cepat pula. Bahkan, dari saking lentur dan liarnya, makhluk-makhluk virtual ini bisa berganti-ganti jenis kelamin kapanpun mereka mahu. Sehingga, tidak ada lagi batas-batas bilogis, geografis, budaya, ras, dan bahkan agama. Segala bentuk dan warna menjadi larut dalam gelap kehampaan. Meminjam bahasanya Hikmat Budiman, mungkin inilah yang disebut sebagai lubang hitam (black hole) kebudayaan. Manusia pintar yang sombong, telah berhasil menggali lubang kuburnya sendiri.
[1]Menurut KBBI, kata halimun berarti
tidak kelihatan, orang — , orang halus (siluman, orang bunian); doa — ,
ilmu halimunan; ilmu
— , mantra atau ilmu yang dapat menjadikan badan tidak kelihatan.
Belakangan ini,
bisa dikatakan bahwa bangsa kita sedang dilanda “stres” massal. Indikator utama
yang dapat kita temui di lapangan adalah merebaknya penyakit “demam wisata.”
Masyarakat kita dewasa ini cukup gandrung mengunjungi tempat-tempat wisata
tertentu dengan alasan “refreshing” atau membuang segala penat di pikiran.
Bahkan, secara tidak sadar, kata-kata “refreshing” seakan-akan telah menjadi
“apliklasi default” (baca: karakter bawaan) dari manusia-manusia milenial.
Implikasinya,
orang-orang yang tidak kenal tempat-tempat wisata dianggap kolot dan tidak
ketinggalan. Tentu, wacana ini didukung dan semakin dipopulerkan oleh kaum
kapitalis. Ekploitasi rasa “stres” menjadi trend baru dalam perkembangan dunia
bisnis kekinian. Pasar, warung makan,
dengan konsep tradisional—tanpa menyuguhkan keindahan view dan sarana
wisata lainnya—cenderung ditinggalkan oleh para konsumen milenialnya. Artinya,
trend baru dalam dunia bisnis kekinian adalah penggabungan konsep sekaligus;
yakni “kebutuhan” dan “kepuasan” konsumen. Terbukti, konsep semacam itulah yang
belakangan begitu digandrungi oleh konsumen.
Terlepas dari
hal itu, kondisi inilah yang menjadi awal mula munculnya tradisi baru di
kalangan manusia milenial; yakni tradisi “mera(u)wat stres.” Mengapa bisa dibilang
sebagai “tradisi”? Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata tradisi berarti
adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat; atau juga berarti
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling
baik dan benar (Lihat KBBI). Dengan demikian, maka tidak salah bila penulis
menganggap bahwa pembiasaan berwisata—yang secara tidak langsung telah
membiasakan stres—merupakan tradisi baru manusia milenial dalam merawat stres.
Bahkan tidak jarang di antara kita yang telah menyusun agenda wisata jauh-jauh
hari sebelumnya. Tentu, hal itu bisa dianggap sebagai upaya tidak langsung
dalam mentradisikan stres secara masif dan terjadwal.
Dalam konteks
inilah maka dapat dikatakan bahwa upaya kita untuk mencegah atau menghilangkan
stres melalui media wisata cenderung kontradiktif. Wisata tidaklah menjadi
alternatif justru menjadi media baru dalam “menumbuh-kembangkan” potensi stres
itu sendiri. Jika kita selama ini berpikir bahwa “wisata” adalah pencegah
stres, maka kita harus reinstal cara
berpikir kita. Memang betul bahwa “wisata” merupakan salah satu media
refreshing yang dapat mengurangi stres. Tapi kita harus ingat bahwa wisata yang
terjadwal (baca: ditradisikan) justru secara tidak langsung kita juga telah
mentradisikan stres itu sendiri. Artinya, minumlah obat wisata itu secara proporsional dan jangan berlebih-lebihan.
Sebab, sesuatu yang berlebih-lebihan itu pastilah memabukkan (baca: bikin kita
tidak waras).
Stres itu
sebenarnya merupakan gejala psikologis seseorang yang cukup normal. Gejala
stres pasti pernah dan akan dirasakan oleh setiap orang yang normal. Potensi
stres (baca: rasa tidak nyaman) ini dititipkan oleh Allah kepada manusia agar
manusia itu terus dapat tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, akal, dan
psikologis. Tetapi, jika potensi stres tidak dikelola dengan baik maka ia akan
menjadi penyakit yang cukup mematikan.
Rasa stres itu
muncul akibat ketidakpuasan atau ketidakmampuan akal (bukan bathin loh ya) dalam menampung realitas
yang dihadapi. Pendeknya, stres itu merupakan “kesumpekan” akal menghadapi
ralitas kehidupan yang jelimet dan rumit. Dalam bahasa lain, akal itu sangatlah
terbatas. Karena itulah mengapa Islam selalu menganjurkan umatnya untuk
senantiasa berpegang teguh pada keimanan. Sebab, keimanan adalah benteng utama
sekaligus pertama dari setiap kesumpekan akal manusia yang sangat bendawi. Segala sesuatu yang tidak mampu
ditampung akal, maka sudah semestinya kita menggunakan kembali “kacamata” ruhani
atau keimanan. Ketika akal kita sudah tidak mampu menemukan jawaban dibalik
realitas kehidupan yang sangat misterius, maka pada saat itulah kita harus
kembali pada ruang “ruhani”; tempat bersemayamnya keimanan.
Lalu dimanakah kaiatannya
keimanan sebagai benteng stres? Salah satu buah keimanan dalam diri seseorang dapat
kita telusuri melalui kadar optimisme atau husnudzan
yang mereka miliki. Jika kita termasuk orang-orang yang cenderung optimis,
lebih banyak bersyukur ketimbang mengeluh, lebih banyak memuji ketimbang
mencela, lebih banyak memberi ketimbang meminta, wa akhawatuha, maka insyallah kita termasuk orang-orang yang
beriman. Jika pola pikir dan pola sikap kita sudah demikian, maka insyaallah
kita akan terhindar dari “penyakit stres” itu tadi.
Dalam kondisi
keimanan yang semacam ini, kita tidak akan lagi butuh “wisata” untuk mencegah
stres. Setiap segala sesuatu” yang kita hadapi justru dapat dijadikan
sebagai“media” pencegah stres. Menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi
sudah sangat cukup untuk “mengepulkan” dan membubungkan “rasa syukur” kita.
Menemui teman dan tetangga yang sinis juga kita anggap sebagai “pemanis”
kehidupan. Atasan yang otoriter kita anggap sebagai “ujian” ketangguhan.
Bahkan, dalam kondisi semacam ini, insyaallah kita pun bisa memintal “derita”
menjadi “anugerah,” tangis menjadi senyum, dan dari innalillah menjadi alhamdulillah.