Webinar Membumikan Al-Quran di Indonesia sebagai Kontribusi IAT Melawan Paham Radikalisme

Al-Quran yang diyakini oleh umat sebagai kalam Tuhan dengan cita-citanya yang sholih likulli zaman wa makan, pada praktiknya sering diartikan berbeda oleh sebagian orang. Kalam Tuhan yang tidak semua keterangan jelas termaktub disana, justru sering menimbulkan pertikaian antar umat Islam itu sendiri. Paham-paham fundamental terhadap Al-Quran terkadang mengancam nilai-nilai humanis yang sebenarnya menyalahi spirit perdamaian yang dibawa oleh Islam. Dari kegelisahan inilah Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsri (IAT) Fuadah IAIN Salatiga menginisiasi webinar dengan judul Paradigma Tafsir Kontekstual dan Upaya Membumikan Al-Qur’an di Indonesia. Melalui aplikasi zoom cloud meeting webinar ini diadakan pada hari Rabu, 6 Oktober 2021 lalu. Hadir dalam webinar ini dua narasumber, Dr. KH. (HC) Husein Muhammad, Lc., pengasuh Ponpes Dar al-Fikr Cirebon dan pendiri ISIF Cirebon, serta Dr. KH. Ach Dhofir Zuhry, M.Fil. Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Malang.

Dr. Benny Ridwan Dekan Fuadah

Acara dibuka oleh Dr. Benny Ridwan Dekan Fuadah dan dimoderatori oleh M.K Ridwan, alumni prodi IAT IAIN Salatiga dan peneliti di bidang Tafsir. Mengawali materi, Dr. Ach Dhofir Zuhry, M.Fil sebagai pembicara pertama mengutip sebuah kaidah penting dalam penafsiran Al-Quran, yakni Al-Ibrah Bi Umum Al-Lafzdi Laa Bi Khusus Sabab, yang berarti suatu hukum diambil dari keumumam teks, bukan sebab-sebab yang khusus. Kaidah ini telah mendorong pemahaman keagamaan yang bersifat text oriented, sehingga pendekatan sejarah yang digagas oleh beberapa pemikir hukum Islam kontemporer belum juga menuai signifikansinya dalam kajian yang dilakukan. Bahkan pemberlakuan kaidah ini secara rigit akan menegasikan asbāb al-nuzūl dari kajian ilmu-ilmu al-Qur’an. Dalam hal ini pemateri menilai kaidah tersebut harusnya lebih dipahami sebagai dogma teologis dari pada sebagai langkah metodologis dalam kajian hukum Islam. Sehingga eksplorasi aspek historisitas wahyu tidak terabaikan.

Dr. Ach Dhofir Zuhry, M.Fil

Beliau menutup materinya dengan menyatakan bahwa konteks peperangan yang dijalani oleh nabi Muhammad, semuanya bersifat defensive, bukan ofensif. Peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW bersifat perlindungan dan menjaga nilai-nilai perdamaian. Sehingga, pada konteks hari ini, memerangi orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik tidak memiliki legitimasi otentik dari teks Al-Quran maupun fakta sejarah Islam.

M.K Ridwan, alumni prodi IAT IAIN Salatiga dan peneliti di bidang Tafsir

Pemaparan materi kedua diberikan moderator kepada Habib Husein Muhammad. Beliau memulai materi dengan memantik pertanyaan “Haruskah Al-Quran diturunkan ke dunia? Apakah akal manusia tidak cukup dijadikan solusi bagi penyelesaian permasalahan-permasalahan manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan atau topic pembicaraan utama. Pemateri menjelaskan bahwa visi utama penurunan alquran ialah untuk membebaskan manusia dari kungkungan kebodohan, tidak hanya kebodohan intelektual, tetapi juga kebodohan moral. Al-Quran sangat menentang adanya eksploitasi kemanusiaan seperti perbudakan, poligami tanpa batas. Al-Quran juga mendorong terjadinya transformasi kehidupan sosial-ekonomi, yakni terwujudnya keadilan ekonomi, kesetaraan gender, dan kedaulatan kemanusiaan. Oleh karena itu, alquran turun membawa pesan illahi sebagai solusi kreatif atas permasalahan-permasalahan kehidupan umat manusia sepanjang masa.

Dr. KH. (HC) Husein Muhammad, Lc.

Pemberian materi berlangsung kurang lebih selama satu jam dan diakhir dengan pemberian contoh proses kontektualisasi penafsiran Al-Quran yang mengambil contoh Surat an-Nisa ayat 3 ayat 34 yang berbicara tentang superioritas posisi laki-laki atas perempuan. Menurut beliau, ayat tersebut tidak berbicara atau tidak sedang mendiskriminasi perempuan dan tidak pula mengunggulkan laki-laki. Alquran secara tegas menyatakan bahwa hanya sebagian laki-laki saja yang telah dilebihkan, yang berimplikasi bahwa tidak semua laki-laki dapat menjadi pemimpin dan superior. Keunggulan dalam ayat tersebut menurut pemateri disimbolkan dengan akal. Sebagaimana manusia pada umumnya, kaum perempuan juga memiliki akal, sehingga mereka sama-sama memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama berhak untuk menjadi seorang pemimpin.

Webinar yang berlangsung kurang lebih selama tiga jam ini dihadiri secara virtual oleh 368 peserta yang berasal dari berbagai institusi dari berbagai daerah. Webinar ini sekaligus menjadi kontribusi nyata Prodi IAT Fuadah IAIN Salatiga dalam rangka mewujudkan moderasi agama yang selalu digaungkan oleh Kementerian Agama RI saat ini. Wallahu a’lam bi shawab (Red.)